Bagian 18

1.2K 163 7
                                    

Pagi ini Dinda membatu Bi Inem menyiapkan sarap dengan tidak sesemangat biasanya. Sebenarnya Bi Inem yang mengetahui jika anak majikkannya itu tengah sakit berulang kali melarang Dinda membantu menyiapkan sarapan dan meminta gadis itu untuk beristirahat saja dan tidak perlu kesekolah. Namun Dinda dengan sifat keras kepalanya hanya membuat Bi Inem menghela napas dan menatap gadis cantik itu dengan khawatir.

" gimana kakinya non, udah mendingan ? " tanya Bi Inem seraya melihat pergelangan kaki Dinda yang kemarin terkilir

" udah mendingan kok Bi, nih buktinya Dinda udah bisa jalan " ujar Dinda seraya berjalan mengitari perempuan paruh baya kesayangannya itu

" siapa dulu yang pijetin, Bi Inem gitu " ucap Bi Inem dengan bangga hingga membuat Dinda terkekeh dan memeluk sayang pembantunya itu

Dinda melepaskan pelukkannya dan kembali sibuk dengan bekal yang tengah ia persiapkan untuk Gilang. Jika mengingat kejadian kemarin seharusnya Dinda marah pada Gilang, namun Dinda yang perasaan cintanya yang bodoh lagi-lagi membuat gadis itu memilih melupakan kejadian menyakitkan itu.

Dengan telaten Dinda menyiapkan beberapa potong sandwich kesukaan Gilang dan memasukkan sekotak minuman kopi dalam bungkusan bekalnya, karena Dinda sangat tahu jika pria tampan itu tak pernah menyukai susu.

" non Dinda hari ini berangkat sekolah diantar Pak Ujang ya ? " tanya Bi Inem

" gak usah Bi, Dinda naik bus aja kayak biasanya " tolak Dinda dengan halus

" Non Dinda itu lagi sakit, lagian pak Ujang udah nunggu di depan " ujar Bi Inem seraya membantu Dinda menggunakan sebuah jaket. Bi Inem yang tahu jika Dinda sedang tidak sehat, memang sengaja menyiapkan jaket untuk gadis itu.

Dinda yang tak mungkin menolakpun akhirnya menuruti perkataan Bi Inem. Setelah menyalimi wanita paruh baya itu serta mencium kedua pipi gembul sang adik. Dindapun bergegas pergi kesekolah.

Sesampainya di sekolah, Dinda semakin merapatkan jaketnya kala merasa udara pagi ini terasa dingin. Dengan wajah pucat, Dinda melangkahkan kakinya secara perlahan. rasa pusing akibat hujan-hujanan kemarin sepertinya betah bersarang di kepalanya. Dinda tak ingin jika harus berbaring di ranjang rumahnya sembari meratapi nasibnya yang menyedihkan, dimana ketika sakitpun tak ada orangtua yang memperhatikannya.

Sebelum memasuki kelasnya, hal pertama yang harus Dinda lakukan seperti biasa adalah menemui Gilang hanya untuk menyerahkan bekal yang telah ia persiapkan. Entahlah bagi Dinda melihat Gilang di pagi hari seperti moodboster tersendiri untuk dirinya.

" Gilang " ucap Dinda dengan lirih seraya tersenyum lemah kearah Gilang

Gilang dan teman-temannya terkejut dengan kedatangan Dinda yang tak seperti biasanya. Biasanya gadis itu akan berteriak memanggil-manggil namanya sembari berlari kecil, namun saat ini gadis itu tampak sangat lesu ditambah dengan wajah pucat yang mendominasi wajahnya cantik yang biasanya tersenyum riang.

" Dinda sayang, kamu sakit ? " tanya Aldo yang hanya di jawab berupa gelengan lemah oleh Dinda

" kali ini ni bocah beneran sakit, bukinya dia gak sebarongan kayak biasanya " ujar Sean seraya mendekati Dinda dan mencoba menyentuh dahi gadis itu, namun buru-buru ditepis oleh Dinda

" jangan pegang, nanti Gilang cemburu " ucap Dinda lirih seraya tersenyum kecil

" ya elah, sakit juga tu otak masih mikirin Gilang yang gak peka-peka " ujar Sean jengkel

" udah ya, aku ke kelas dulu " Dinda meraih tangan Gilang dan menyerahkan bekal yang ia bawa pada pria itu

Gilang menatap Dinda dengan khawatir kala tangan mereka bersentuhan Gilang dapat merasakan hawa panas dari tangan gadis cantik itu. Rasa cemas yang Gilang rasakan hanya ia pendam sendiri, pria itu tak mau memperhatikan rasa khawatirnya di depan wanita itu apalagi teman-temannya yang bisa menyalah artikan niatnya.

DINDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang