"R--renjun, aku..."
Renjun menyeringai tanpa menatapmu. "Sudah kuduga tidak ada yang berpihak padaku sama sekali."
Kau menatapnya nanar dan perlahan menjauhkan tubuhmu darinya. Usahamu mengikis jarak agar bisa lepas dari Renjun sia-sia ketika tangan kurusnya memegang lenganmu kuat.
Kau meringis melihatnya. Takut tentu saja.
"Jangan menjauh."
"Aku tak ingin..."
"Aku tak akan mengajakmu mati. Biar aku saja yang mati."
"Renjun!"
Renjun menoleh padamu ketika dengan terang-terangan kau membentaknya. Tatapannya datar dan bibirnya terkatup rapat.
Dengan takut, kau berujar. "Jangan mati. Jangan bertindak macam-macam, aku benci keputusasaan."
Ia tersenyum mendengar ucapanmu. Dilepaskannya cengkraman tangannya darimu lalu ia menghela nafasnya.
"Mengapa?"
"Itu buruk. Aku benci melihatnya." jawabmu.
"Tetapi menurutmu, apakah Mama benci keputusasaan juga?"
Lagi-lagi ia berbicara tidak jelas. Renjun memang sinting!
"Mamaku tidak tahu apa itu keputusasaan. Yang ia tahu, akulah dalang dibalik kematian adikku. Aku lelah, aku ingin mengakhirinya, Soora."
"Bagaimana cara kau mengakhirinya?"
"Membuat Mamaku mengerti semua tentang rasa."
Aku mengernyit menatapnya.
"Rasa putus asa karena disakiti orang tersayang, rasa sakit akibat pukulan dan sayatan, rasa sedih akibat dituduh, semacam itu."
(p′︵‵。)

KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fanfiction[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...