45

707 112 7
                                    

"Terima kasih Park Soora, analisismu benar mengenai ciri-ciri orang yang tengah mengalami depresiasi ."

Kau membungkuk pada dosenmu lalu kembali duduk di tempatmu.

"Kau benar-benar hebat, selalu bisa menjawab pertanyaan dari semua dosen." celetuk salah seorang yang duduk disampingmu.

Kau menggaruk tengkukmu lalu tersenyum canggung. "Terima kasih."

"Seperti apa ya, seolah-olah kau pernah mengalaminya sendiri."

Kau yang tadinya tengah menulis kini menghentikan aktivitasmu. Pulpenmu berdiri tegak karena kau memegangnya begitu erat.

Tidak, kau tidak marah. Hanya saja kau benci ketika harus mengingat rasa itu.

Rasa yang mati-matian kau buang.

"Hampir." jawabmu.

Mata temanmu itu membola. "Yang benar?!" tanyanya tak percaya.

"Tapi wajar 'kan jika itu dialami remaja?"

"Stress sih iya wajar tapi depresi itu tahap lanjut dari stress, untuk remaja sepertinya jarang."

Kau mengendikkan bahumu. "Masih hampir. Setidaknya ia pergi sebelum membuatku depresi."

Temanmu itu mengernyit. "Ia siapa? "

"Tapi kepergiannya justru membuat hidupku hampa."

"Soora...?"

"Dia kabur dan menghilang, Haechan. Aku benci itu."

Temanmu yang bernama Haechan itu nampak kebingungan. Ia sama sekali tidak tahu topik pembicaraanmu. Ia semakin menjauhkan badannya darimu ketika ia melihatmu memegang pulpenmu dengan kuat.

CTAKK!

Pulpenmu patah menjadi dua. Serpihannya itu mengenai jarimu hingga berdarah.

Haechan terkejut, begitu pula orang-orang yang duduk disekitarmu. Mereka menoleh karena mendengar suara pulpenmu yang patah. Suasananya hening saat itu karena mereka semua sedang memperhatikan dosen, maka dari itu suara pulpenmu cukup menarik perhatian mereka.

"S—Soora?" cicit Haechan setengah takut.

Kau memandang jarimu yang berdarah sejenak. Sama sekali tidak sakit. Mungkinkah kau sudah terbiasa dengan rasa sakit semacam ini?

Kemudian kau menoleh pada Haechan dan tersenyum padanya.

"Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali?"



***



Kau berjalan dengan gontai. Kakimu rasanya malas sekali untuk melangkah tetapi kau memaksanya.

Hari sudah malam saat kau pulang. Sebenarnya kelasmu selesai sore hari tapi kau memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sembari mengerjakan beberapa tugas.

Kau memutuskan untuk mampir ke salah satu toko dan membeli soda di sana. Setelah membayar di kasir, kau meminumnya di kursi yang disediakan di depan toko. Pikiranmu rasanya kacau sekali hari ini.

"Park Soora?"

Kau mendengus ketika namamu dipanggil. Kau hanya ingin sendiri hari ini, tidak ingin ditemani siapapun.

Ketika kau menoleh kau mendapati Haechan tengah tersenyum menghampirimu. Tanpa meminta persetujuanmu ia langsung duduk dihadapanmu.

"Aku tidak paham benar apa maksud ucapanmu tadi, tapi setidaknya aku bisa menjawab pertanyaan terakhirmu."

"Pertanyaan terakhirku?"

Haechan mengangguk seraya menunjuk jarimu yang saat ini sudah di plester.

Kau tertawa. "Ah, kau memikirkannya? Sebenarnya aku hanya—"

"Terlepas kau hanya bercanda atau tidak tapi melihat dari gerakan matamu tadi, sepertinya kau mengucapkan pertanyaan itu dengan serius."

"Wah, wah, kau pintar juga ya?"

Ia mengendikkan bahunya lalu menyilangkan tangannya di depan dada.

"Aku tidak akan bertanya 'dia' yang kau maksud itu siapa. Tapi sepertinya dia orang yang mengubah hidupmu seratus delapan puluh derajat ya?"

Kau meremas kaleng sodamu dengan erat seraya menatapnya tajam.

Melihat hal itu ia hanya tersenyum. "Jangan bilang kau mencintainya?"

"JANGAN IKUT CAMPUR MASALAHKU!"

"Seseorang yang telah pergi mungkin tak akan pernah kembali. Kemungkinannya sangat besar karena ia telah memutuskan untuk pergi jadi untuk apa ia kembali? Kecuali jika ia kembali untuk menyelesaikan ceritanya yang belum selesai." jawabnya seolah tak peduli dengan kemarahanmu.

Kau seketika berhenti menatapnya marah. Pikiranmu langsung melayang di hari dimana Renjun membawamu ke rooftop.

"Sekarang aku tanya, apa ceritamu dengannya sudah selesai?"

"Ak—aku tidak tahu." jawabmu. Kau sendiri bingung, tidak tahu mana jawaban yang tepat.

"Dia pergi begitu saja?"

Kau menggeleng.

"Apa ucapan terakhirnya?"

"Memangnya itu penting?!" sahutmu.

Kau tak suka jika urusan pribadimu dicampuri seperti ini.

Ia bangkit dari duduknya, masih tersenyum seperti biasa. "Baik, kalau begitu aku pergi dulu ya."

Kau meremas kaleng sodamu makin erat. Sebenarnya kau butuh seseorang untuk menjawab semua pertanyaanmu tentang Renjun. Pikiranmu selalu kacau ketika kau memikirkannya seorang diri, apalagi sampai detik ini pun Lucas tak pernah mengabarimu.

Kau takut akan kemungkinan terburuknya.

Kau takut kalau sebenarnya Renjun sudah meninggal.

"Dia bilang bahwa dia mencintaiku!" ucapmu cepat sebelum Haechan benar-benar manjauh.

Haechan langsung berbalik senang. "Kalau begitu ia pasti kembali."

"Dia tak pernah mengabariku selama ini."

"Ia ingin memberimu kejutan, mungkin?"

"Bagaimana kalau ia mati?"

Senyumnya langsung turun ketika mendengar jawabanmu. "Ngg, itu aku tidak tahu."

Setelah itu Haechan langsung pergi meninggalkanmu. Jawabannya sama sekali tidak membantumu.

"Sialan." umpatmu kesal melihat punggungnya yang makin lama semakin menjauh.

Kau memutuskan untuk pulang karena perutmu sudah lapar. Ketika kau mengambil tasmu tiba-tiba kau merasakan seseorang mendekat ke arahmu.

Kau menoleh dan mendapati orang itu tersenyum kearahmu.

"Hai, apa kabar?"


















Tbc

≥﹏≤

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang