28

710 105 6
                                    

Aku terlalu terkejut sebelum akhirnya paham bahwa Renjun mengemudikan sepedanya dengan cepat menuju jalan raya. Berkali-kali kutepuk pundaknya mengisyaratkan ia agar memperlambat laju sepeda jika hendak menyeberang. Aku tak mungkin berteriak karena kondisi jalanan sedang ramai, teriakanku hanya akan berakibat fatal pada kami.

Lagi-lagi Renjun mengejutkanku. Dia tidak sedang menyeberang. Di justru tetap melajukan sepeda disaat sebuah mobil melaju kencang ke arah kami. Melihat hal itu ia justru tertawa senang.

Beberapa pejalan kaki yang hendak menyeberang di zebra cross meneriaki kami. Memberi peringatan bahwa ada mobil yang --mungkin saja-- akan menabrak kami. Daun telinga Renjun seolah tertutup hingga tak bisa menyalurkan suara menuju gendang telinganya.

Ia tetap tertawa sambil terus melajukan sepeda.

Kucengkram pundaknya, ah bukan lagi kucengkram tapi kucakar karena aku terlalu kalut. Dia sekarang seperti malaikat maut yang bersiap mencabut nyawaku. Mobil putih yang melaju itu jika menabrak kami pasti bisa membuat kami terpental jauh.

Aku belum ingin mati.

Kucakar pundaknya hingga kurasakan kukuku seakan ingin patah. "AKU BELUM INGIN MATI RENJUN!" teriakku. Sebenarnya aku bisa saja turun dari sepeda dengan melompat langsung tetapi jika aku melakukan itu, Renjun akan oleng dan jatuh. Jika hal itu terjadi, maka akan sangat buruk karena tubuh Renjun yang jatuh bisa saja dipelindas oleh mobil dan kendaraan-kendaraan lainnya.

"Memangnya apa yang membuatmu bahagia di dunia? Ayahmu yang selalu menyiksamu itu?"

"Jangan--"

"Atau aku yang selalu kau anggap memanfaatkanmu?"

"Ren--"

"Bukankah lebih baik kita mati bersama saja?"

Belum sempat aku menjawab ucapannya mobil putih itu telah sukses menabrak kami. Membuatku dan Renjun terpental sebelum akhirnya sempat terseret beberapa senti.

Aku sempat mengerjap, melihat tanganku penuh darah. Di seberangku, kulihat Renjun sudah menutup mata dengan pelipis, hidung, tangan, dan entahlah yang mana lagi berdarah-darah.

Lalu hal terakhir yang kuingat sebelum kesadaranku terenggut adalah teriakan para pejalan kaki.




















Tbc
(´△`)

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang