38

709 114 0
                                        

Ketika Renjun telah masuk ke dalam mobil mewah milik Lucas, sepupunya itu segera memberinya sapu tangan. Renjun menerima sapu tangan itu dan mengusapnya di daerah matanya.

"Jadi kau sudah yakin ini keputusan yang tepat?" tanya Lucas.

Renjun mengangguk pelan seraya tersenyum kecut memandang buku bekasmu.

"Tapi dokter bilang kesehatan mentalmu bisa sembuh."

"Aku tak ingin menyakitinya untuk kedua kalinya."

"Kalau kau optimis untuk sembuh dan Soora mengerti keadaanmu pasti—"

"Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang kesehatan fisikku?"

Lucas langsung terdiam.

"Aku lebih tahu dengan keadaan tubuhku sendiri daripada dirimu."

"Kau tak mengatakan hal ini padanya?" tanya Lucas.

"Tidak. Untuk apa?"

Lucas mengusak rambutnya ke belakang. "Setidaknya kau beritahu dia tentang keadaanmu. Setidaknya dia bisa mempersiapkan diri."

"Dia pasti jauh lebih siap dari dugaanmu." jawab Renjun datar.

"Renjun—"

"Untuk apa aku membuatnya bahagia jika itu hanya sejenak? Itu justru lebih menyakitinya ketimbang meninggalkannya disaat kami belum memulai apa-apa."

Lagi-lagi Lucas bergeming. Ucapannya Renjun sepenuhnya benar.

Sesaat kemudian Renjun tersenyum seraya memandang buku bekasmu. "Setidaknya dia sudah tahu aku mencintainya."

"Dan Soora?" tanya Lucas.

"Dia juga mencintaiku."

Lucas membelalak. "Itu namanya kau sudah memulainya, bukan 'belum memulai apa-apa' seperti ucapanmu!"

"Pak jalan ke rumah sakit ya." ujar Renjun pada sang supir menghiraukan ucapan Lucas.


***


Kau hanya bisa duduk termenung di meja belajarmu. Kau menghela nafas berat saat mengambil buku pemberian Renjun. Rasanya sakit sekali melihat benda itu.

Lebih sakit saat kau merasa membenci Renjun.

Sial, untuk apa dia berkata mencintaimu jika akhirnya pergi meninggalkanmu? Membuatmu terjebak pada rasa yang seharusnya tidak pernah ada. Membuatmu gusar harus melangkah ke mana selepas ini.

Kau mulai membaca buku itu. Kau sangat menikmati tiap paragraf yang kau baca, membawamu untuk membayangkan hidupmu seperti sang tokoh utama.

Tokoh utamanya hampir mirip dengan kisah hidupmu, makanya kau mati-matian menabung untuk membeli novel ini. Pada akhirnya kau cukup puas karena telah membelinya meski statusnya adalah buku bekas. Lalu pemuda itu datang, tersenyum, membantumu melewati masa-masa sulit dan membelikanmu buku baru.

Meski semua perlakuan manis itu hanya sekejap sebelum akhirnya pemuda itu berubah menjadi iblis mengerikan. Pada dasarnya Renjun adalah pemuda yang menyedihkan. Jauh lebih menyedihkan dari dirimu.

Maka dari itu, saat Renjun mengucapkan permohonan maafnya yang tulus dan menyatakan perasaannya padamu, kau sama sekali tak bisa menolak hal itu. Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri jika harus menolak permintaan maafnya. Juga kau terlalu naif jika harus menolak bahwa kau juga mencintainya.

"Soora, ada temanmu yang mencarimu." ujar Ayah dari balik pintu kamarmu.

Kau segera menutup buku itu lalu beranjak membuka pintu kamar. "Siapa?"

"Na Jaemin. Apa ada kerja kelompok?" tanyanya datar.

Kau berpikir sejenak. Tidak ada tugas kelompok yang harus diselesaikan secepatnya, biasanya kalian akan mengerjakannya di sekolah karena rumah Jaemin dan rumahmu jaraknya lumayan jauh. Tetapi jika kau berkata 'tidak' maka Ayahmu tak akan segan langsung mengusir Jaemin. Pasti ada hal penting yang harus Jaemin bicarakan denganmu hingga ia rela datang ke rumahmu malam ini.

"Iya ada." jawabmu lirih, takut jika Ayah tiba-tiba marah.

"Baik. Tapi kerja kelompok yang benar, Ayah mau ke supermarket dulu sudah saatnya pergantian shift."

Kau mengangguk lalu mengekor di belakang Ayah menuju halaman rumahmu yang kecil. "Jangan macam-macam." ujar Ayahmu pada Jaemin dan juga dirimu.

Kalian mengangguk serempak.

"Ada apa?" tanyamu pada Jaemin ketika punggung Ayah sudah tidak terlihat di ujung gang.

Jaemin menghindari tatapanmu sejenak. Ia mengulum bibirnya seolah tak tahu harus mengucap apa. "Hm, begini, maaf aku harus menanyakannya,"

"Tanyakan saja." jawabmu seraya mempersilahkan Jaemin duduk di kursi yang terletak di depan rumahmu.

Pemuda dengan senyum manis itu duduk di sampingmu. "Huang Renjun itu, siapamu?"

Kau membelalak padanya. Namun rasa sakit lebih menguasaimu.

"Ke—kenapa kau menangis?" tanyanya panik.

"Dia bukan siapa-siapa."

"Maaf?"

"Dia bukan siapa-siapaku, Jaemin. Dia hanya seorang iblis yang terkadang menyamar menjadi malaikat. Seseorang yang mampu membuat hatiku berdesir senang dan juga takut di saat bersamaan." jawabmu tak kuasa menahan tangis.

Jaemin bergeming.

Kau besuara lagi. "Dia pergi."

"Maksudmu?"

"Dia lari dariku, Jaemin."

Lagi-lagi temanmu itu mengernyitkan dahinya. "Tunggu, apa maksudmu Soora?"

"Bukankah semuanya sudah jelas?"

"Iya aku paham tapi, tadi Renjun menemuiku di rumahku."

Sontak kau berhenti menangis, lalu menoleh ke arah Jaemin karena terkejut.

















Tbc

(。ŏ_ŏ)

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang