Dokter Jaehyun tidak pernah datang ke ruanganmu sejak kau memintanya untuk membantu. Yah, mungkin ia berpikir bahwa kau gila. Jelas ia tak mau membantu pasien yang sudah sakit fisik ditambah kejiwaannya terganggu sepertimu.
Tak terasa dua hari berlalu sejak kejadian itu dan Ayahmu hanya datang beberapa hari sekali. Itu pun datang hanya sebentar, sekadar berbasa-basi. Hanya Lucas yang setiap hari datang dan meminta maaf padamu karena ia telah mengatakan hal yang tidak pantas tempo hari.
Kedatangan Lucas sering kau tolak. Tapi pemuda jangkung itu tetap saja pada pendiriannya, terus meminta maaf. Kau juga membalasnya tanpa lelah, kau menolak semua permintaan maafnya.
"Aku minta maaf Soora." ujar Lucas penuh penyesalan di ambang pintu ruanganmu.
Lucas tidak berani mendekat karena jika ia melakukan itu kau tidak akan segan-segan memukulnya dengan segala benda yang berada di jangkauanmu.
"Tidak kumaafkan." jawabmu yang masih kepayahan mencoba duduk.
Lucas yang melihat itu berinisiatif untuk membantumu tetapi dengan cepat kau mendelik padanya. Kau sama sekali tak ingin disentuhnya. Kau membencinya.
"Lalu apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku?" jawabnya putus asa.
Kau yang sudah berhasil duduk membiarkan rambutmu menutupi separuh wajahmu. Biarkanlah rambutmu menjadi tirai agar matamu tidak menatap Lucas.
"Menurutmu apa yang harus kau lakukan?" tanyamu balik yang membuat kening Lucas semakin berkerut.
"Menuruti keinginanmu mungkin?" jawabnya ragu setelah beberapa detik lalu terdiam.
Kau diam sejenak karena jawaban Lucas tak terpikirkan olehmu. Lalu beberapa detik kemudian kau menyeringai dan dengan berani mengangkat wajahmu untuk menatap Lucas.
"Lihat ini..." ujarmu seraya mengeluarkan tanganmu dari balik selimut. Kau menunjukkan pergelangan tanganmu yang masih terbalut perban.
Mata bulat Lucas membelalak. "Tanganmu kenapa?"
"Aku hanya mencoba memotong nadiku."
"Astaga! Apa maksudmu?!"
"Menurutmu mengapa aku melakukan ini, Wong Lucas?" tanyamu datar dengan nada suara menekan pada saat mengucapkan namanya.
Lucas mengusak rambutnya ke belakang. Kau yakin sekali bahwa pemuda itu sangat tahu penyebab semua ini. "Ayahmu mungkin? Kudengar Ayahmu bukan Ayah yang 'baik'. Hm, maaf aku--"
"Lalu?"
"Kuharap yang ini bukanlah seseorang yang menjadi penyebab kau berbuat seperti itu..." ujarnya seraya meringis takut.
"Siapa?"
"Sepupuku, Renjun."
Pandangan matamu yang sebelumnya tajam pada Lucas kini berubah sipit karena kau tertawa terbahak. "Benar sekali."
"Sso--soora?"
"Kau benar Lucas. Renjun orangnya."
Lucas mendesah lelah. "Oh, Soora. Ayolah jangan seperti ini..."
"Tapi benar, dia orangnya." jawabmu masih tidak bisa berhenti tertawa.
Lucas terdiam. Ia menatapmu dengan ekspresi terkejut yang bercampur dengan...entahlah, kau tidak bisa mendeskripsikannya secara pasti. Melihat hal itu kau juga ikut diam, berhenti tertawa secara tiba-tiba lalu menatap Lucas dengan tajam lagi.
"Ayo, turuti permintaanku." ujarmu datar pada akhirnya.
"Permintaan apa?"
"Renjun belum sadar bukan?"
Lucas mengangguk ragu.
"Copot saja semua alat penunjang hidupnya. Biarkan dia menemui sang malaikat maut, dia sudah merindukan hal itu sejak lama."
Lucas terkejut. Ucapanmu membuatnya hampir tak bisa bicara. Saat Lucas akan menjawab, tiba-tiba pintu ruanganmu terbuka, menampakkan sosok wajah dokter yang pernah kau mintai tolong.
"Selamat pagi Nona Park. Temanmu Huang Renjun sudah sadar. Mau kuantar untuk menemuinya? Kau orang pertama yang dicarinya setelah ia sadar."
Ucapan dokter Jaehyun itu sukses membuatmu dan Lucas berhenti bernafas.
Tbc
≥﹏≤

KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fanfiction[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...