Sore hari setelah kau selesai kelas, kau langsung mengambil ponselmu dan menelepon Lucas.
Kau ingin menemui Renjun.
Awalnya kau hanya bertanya di mana alamat rumah Renjun yang asli karena saat kau diajak menemui Mamanya dulu, itu bukan rumah Renjun. Namun Lucas justru menawarkan diri untuk menjemputmu sekalian mengambil resep obat dari dokter yang menangani Renjun.
Tak berselang lama sebuah mobil biram berhenti tepat di depanmu. Sang empunya menurunkan kaca mobilnya dan mengangguk padamu.
Tanpa perlu disuruh kau langsung masuk ke dalam mobil milik Lucas dan memasang sabuk pengaman.
"Ada urusan mendesak ya sampai-sampai nada suaramu di telepon begitu?" tanya Lucas sembari mulai melajukan mobil.
Kau menghela nafas berat. Sebenarnya ucapan Haechan sangat menganggu pikiranmu. Kau bahkan tak bisa konsentrasi saat mengikuti kelas apalagi saat ia mengatakan bahwa mungkin kau terkena Stockholm Syndrom, kondisi dimana seseorang justru menyukai orang yang menyakitinya.
Renjun memang menyakitimu tapi ia melakukan hal itu hanya untuk menggertakmu meski hampir membuat nyawamu melayang karena kecelakaan. Bahkan Renjun mengakui perasaannya padamu secara langsung.
Jelas ini bukan Stockholm Syndrom kan?
"Aku hanya ingin menemuinya."
Lucas mengangguk-anggukan kepalanya. "Sebaiknya jika ada hal yang menganggumu tentang Renjun, tanyakan saja padaku dulu."
"Memangnya kenapa?"
Lucas tidak segera menjawab pertanyaanmu. Ia diam namun ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras. Lama sekali kau menantikan jawaban darinya sebelum akhirnya mobil berhenti karena rambu lalu lintas menunjukkan warna merah.
Lucas pun menoleh padamu. "Aku takut jika pertanyaanmu nanti menyakiti hatinya."
Matamu menyipit dan kau berpaling dari Lucas. Ternyata perasaanmu benar, ada yang tidak beres dari Renjun.
Kau menyandarkan punggungmu ke sandaran kursi lalu mengusap ponimu ke belakang. "Jujur saja hal ini mengganggu pikiranku selama beberapa hari."
Rambu lalu lintas kini menunjukkan warna hijau. Seraya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang ia menjawabmu tanpa menoleh.
"Apa itu?"
"Selama dua tahun ini Renjun kemana saja?"
"Hanya berobat." jawab Lucas singkat. Saat kau menoleh kau mendapati Lucas tengah menahan air matanya.
Kau mendengus. "Lihat, pasti ada yang tidak beres kan?"
"Kalau sudah tahu kenapa kau bertanya?"
Kau menggigit bibir bawahmu untuk meredam ketakutan yang saat ini menjalar ke seluruh tubuhmu. Tanganmu gemetar, kau takut perasaanmu benar.
"Aku hanya memastikannya."
Lucas menoleh padamu dan matanya telah memerah. "Kau jurusan psikologi harusnya kau tahu hal ini tanpa harus memastikannya padaku kan?"
Tanpa sadar air matamu telah jatuh membasahi pipimu.
Kenapa mengakui kondisi mental Renjun yang tidak sehat harus sesulit ini?
***
Ketika kau memasuki rumah Renjun rasanya seperti kau sedang memasuki rumah hantu. Rumah besar ini hanya di huni oleh Renjun. Jendela-jendela di rumahnya hanya beberapa yang di buka, sisanya di tutup beserta gorden yang senantiasa menjuntai ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fanfiction[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...