Pada akhirnya Renjun memilih rooftop secara sepihak karena kau tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Sesampainya di sana Renjun mengajakmu untuk berdiri di pinggir rooftop untuk melihat hiruk pikuk kota dari atas.
Semilir angin meniup rambut kalian. Berkali-kali kau menyibak ponimu dan menyelipkan seunting rambut ke belakang telinga. Tetapi semua itu tetap saja tak membuat rambutmu patuh. Mereka tetap berkibar sembari menabrak matamu.
Saat kau menengok ke arah Renjun, ia sama sekali tak risih ketika poninya tertiup angin hingga menutupi mata. Ia tetap bergeming sembari meletakkan kedua tangannya di saku celana.
Beberapa detik kemudian Renjun menoleh padamu. Ah, sepertinya ia sadar karena kau terus memandangnya. Lagi-lagi kau tak bisa mengelak ketika paras tampan itu menoleh padamu. Sinar matahari yang menerpa wajahnya membuat kulit Renjun semakin bercahaya.
Lalu kau menatap kulit lenganmu, wah terlihat sekali perbedaannya. Kau menunduk dan mengerucut kesal karena merasa kalah dengan Renjun yang laki-laki.
Ketika kau menunduk, kau melihat kaki Renjun perlahan melangkah ke arahmu. Saat kau mendongak, kau mendapati Renjun tengah tersenyum manis ke arahmu. Lalu tangannya dengan perlahan menyentuh poni rambutmu, mengarahkannya ke samping, kemudian menjepitnya dengan rapi.
"Aku membelinya kemarin, untungnya sangat pas saat kau kenakan." ucapnya seraya tersenyum.
Kau meraba jepit itu, terasa bergelombang dan di tengahnya terdapat bulatan kecil. Mungkinkah bunga? Daripada penasaran kau memutuskan untuk melepasnya namun Renjun dengan sigap menahan tanganmu.
Sebelum mulutmu mengucapkan kalimat protes Renjun telah lebih dulu mengeluarkan jepit rambut lagi.
"Ini pasangannya. Mau kau pakai dua-duanya?"
Jepit itu sangat indah. Terbuat dari manik-manik, berwarna merah muda dan putih dengan bunga berwarna senada di ujungnya. Tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Renjun sangat pandai dalam memilih.
"Kau tidak suka ya?" tanyanya.
Kau menggeleng cepat. "Aku suka kok."
"Habisnya kau diam saja, aku takut ini bukan seleramu."
Kau tersenyum senang lalu merebut jepit itu dari genggaman Renjun. Lalu kau memasang jepit itu di sisi lain rambutmu.
"Bagaimana?" tanyamu. Jujur saja kau jarang memakai jepit, pita, atau kuncir rambut. Kau selalu menggerai rambutmu polos. Sebenarnya kau ingin membeli semua itu seperti remaja perempuan pada umumnya, tetapi uangmu terlalu berharga untuk dibelikan hal semacam itu.
"Cantik."
Pipimu terasa panas hingga menjalar ke telinga. Wah, lihatlah senyum tulus itu, kau sama sekali tak bisa berpaling darinya.
"Pipimu merah, Soora." ucapnya seraya mengernyit polos.
Dengan sigap kau menangkup kedua pipimu. "I—ini karena cuacanya... Ya, cuacanya dingin kan? Apalagi ada semilir angin, jad—"
Kau membelalak ketika Renjun tiba-tiba membawamu ke pelukannya.
"Re—renjun?"
"Bagaimana? Sudah lebih hangat?"
Sial! Perbuatan Renjun itu justru membuatmu makin salah tingkah. Terlebih ia mendekap tubuhmu dengan sangat erat. Dari perlakuannya dua minggu terakhir ini secara berangur-angsur kau dapat melupakan sisi lain diri Renjun yang bertindak seperti iblis.
"Aku tidak membawa jaket atau jas makanya aku memelukmu. Aku tidak ingin kau sakit. Sudah cukup kau sakit secara fisik dan mental karenaku semenjak kau mengenalku."
Kau menggeleng dalam pelukannya. Bagaimanapun juga Renjun lebih banyak melalui hari yang berat daripada dirimu. Ia mendapat kekerasan dari Ibunya melebihi kekerasan yang kau dapatkan dari Ayahmu. Meski jahat Ayahmu tak pernah sampai ingin membunuhmu seperti Ibu Renjun.
Sifat Renjun yang seperti iblis itu didapatkannya dari Ibunya. Semua ini bukan salah Renjun, bukan juga salah Nyonya Huang. Takdirlah yang bersalah.
Takdir yang membuat adik Renjun meninggal.
Takdir yang membuat Nyonya Huang merasa bahwa Renjun-lah yang membunuh adiknya.
Dan takdirlah yang membuatmu bertemu dengan Renjun.
Takdir selalu pintar dalam membuat skenario seperti yang telah diutus oleh Tuhan.
Sesaat kemudian kau merasa kulit kepala bagian atasmu basah. Kau berusaha mendongak namun Renjun menahanmu dalam pelukannya.
Kau mendengar suara terisak. Renjun menangis. Tapi mengapa? Bukankah semua ini sudah selesai?
"Mengapa kau menangis?" tanyamu lirih.
Lengang sejenak, sebelum akhirnya ia menjawab,
"Aku menyukaimu."
"Ap—apa?" tanyamu terkejut.
"Ah, tidak. Lebih tepatnya aku mencintaimu, Park Soora."
"Renjun..."
"Kau cinta pertamaku. Kau orang pertama yang bisa membuatku bergantung padamu. Kau orang pertama yang membuatku sadar bahwa cinta itu ada. Kau orang pertama yang menjadi temanku. Kau orang pertama yang kuajak menemui mamaku. Kau—"
Ia menangis sesenggukan hingga tak kuasa melanjutkan kalimatnya.
"—kau orang pertama yang kusakiti, Soora. Aku minta maaf...sungguh, aku—"
Kau memeluknya dengan erat sebagai balasan. Mendengar penuturan Renjun yang tulus kau ikut menangis.
Semuanya terasa berat bagimu dan juga Renjun.
Baru beberapa detik kau membalas pelukannya tiba-tiba ia melepaskan pelukanmu. Matanya masih sembab namun ia telah menghapus bekas air matanya segera.
"Ada apa?" tanyamu bingung.
"Aku mencintaimu."
"Kau sudah mengatakannya tadi."
"Aku akan pergi."
"Apa?"
"Aku akan pergi, lari, dan kabur agar kau tak bisa menemukanmu."
"Renjun—" kau berusaha meraih lengannya namun ia justru menjauh.
Ia menangis lagi. Tangisnya terasa begitu pilu hingga dadamu ikut merasa sesak.
"Aku tak ingin menyakitimu lagi."
"Renjun, jangan pergi."
"Sampai jumpa."
Kau berusaha mengejarnya dan meraih tangannya sekali lagi. Namun Renjun juga dengan tegas menepis tanganmu.
Ketika kau sudah putus asa meraih lengannya dan Renjun hampir membuka pintu rooftop, kau berteriak padanya.
"AKU JUGA MENCINTAIMU!"
Ia berhenti sejenak namun tak menoleh.
"Kumohon jangan pergi. Mari kita buka lembaran baru. Jangan tinggalkan aku." ucapmu memohon seraya memegang dadamu yang semakin sesak ketika melihat punggung itu makin menjauh.
Pemuda itu tak menjawab permintaanmu. Ia justru melanjutkan langkahnya meninggalkanmu sendirian di rooftop yang terasa semakin luas.
Tangismu makin menjadi-jadi. Rasanya perih sekali.
Kau kira ini adalah awal baru bagi kalian tetapi ini justru adalah akhir.
Akhir yang tak pernah kau pikirkan sekalipun dalam bayanganmu.
"Renjun... Renjun... Huang Renjun, kau jahat..." ucapmu tersedu.
Tanpa kau sadari pemuda itu masih berada di balik pintu rooftop dan menangis disana seraya memeluk buku bekasmu.
Tbc
(︺︹︺)
Karena minggu kemarin ga update makanya chapter ini aku panjangin ehe ^O^

KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fanfiction[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...