"Soora ini malam dan aku yakin penglihatanmu pun tak cukup bagus." ujar Jaemin seraya mengeratkan cengkraman tangannya pada pinggangmu.
"Kau meragukan penglihatanku?" tanyamu agak ketus.
Seharusnya Jaemin bersyukur bahwa kau-lah yang memboncengnya. Agak ngebut memang, tapi jika Jaemin yang membonceng maka kau baru sampai ke tempat tujuan keesokan harinya.
Dia memang lamban jika dihadapkan dengan sepeda.
Kau tak kaget karena kau tahu bahwa Jaemin adalah pewaris tunggal perusahaan Ayahnya. Seorang pewaris tunggal mana perlu menggunakan sepeda jika ia sudah mempunyai mobil lengkap dengan sopirnya?
Tadi saat kau mengajaknya dengan sigap Jaemin segera meraih ponselnya hendak menelfon sang sopir pribadi. Namun kau segera mencegahnya dan mendelik pada pemuda yang tingginya jauh diatasmu itu.
"Bukankah lebih cepat jika kita menggunakan mobil?" tanyanya polos.
Alasanmu memilih menggunakan sepeda adalah agar bisa terhindar dari kemacetan. Meski sudah malam tetap saja jalan raya selalu padat.
"Tidak akan terjebak macet kok. Aku bisa menyuruh bawahan Ayahku untuk mengosongkan jalan raya."
Kau menggeleng cepat. Keadaan sangat mendesak dan kau dengan terburu-buru sudah mengeluarkan sepedamu dari rumah.
"Atau bisa lewat jalan lain, meski lumayan memakan waktu tapi sopirku bisa ngebut." tawar Jaemin lagi.
Kau tahu pasti mengapa ia menawarnya sedemikian rupa. Katanya saat ia menaiki sepeda pasti ia akan tertimpa kesialan. Yah, alasannya itu antara benar dan tidak. Bisa saja bukan itu hanya alibinya agar ia tak harus menaiki sepeda yang jauh di bawah kendaraan sehari-harinya.
"Ngg, Soora?"
Kau segera menaiki sepedamu lalu menatapnya tajam.
"Aku bisa menyuruh—"
"Berhenti mengeluh dan naik, Na Jaemin!"
Dan disinilah seorang Na Jaemin berakhir. Duduk di boncengan sepedamu dan memelukmu erat.
"Aaaa... Aku takut, Soora."
Kau tak yakin apakah Jaemin mengucapkan kalimat itu sembari memejamkan matanya, tetapi dari suaranya ia benar-benar merasa takut.
"Kecepatan maksimal ini masih jauh di atas motor atau mobil yang mengebut." jawabmu datar.
"Tapi ini berbeda. Ini sepeda, bisa saja kau kehilangan keseimbangan!"
"Saat menaiki motor pun sama. Kau bisa jatuh jika kehilangan keseimbangan."
"Tapi mobil tidak!"
Kau diam, tak menyanggah pernyataannya. Percuma saja, Jaemin selalu seperti itu.
"Turun." ucapmu datar ketika kau merasa bahwa Jaemin tak bergerak sedikit pun.
"Ah, sudah sampai ya?"
Oh, dia menutup mata rupanya.
"Kok ke rumah sakit?" tanyanya polos.
Kau menghela nafas berat. "Aku tak yakin ini benar atau tidak. Tapi kemungkinan Renjun berada disini cukup besar."
Renjun mulai membuntutimu menuju resepsionis. "Memangnya dia sakit?"
Kau menggigit bibir bawahmu. Kau ingin sekali menjawab 'Ya, dia sakit. Fisik dan mental' tetapi melihat bagaimana Renjun berjuang dari Mamanya, fakta itu cukup menyakitkan.
"Sepertinya iya." jawabmu pada akhirnya.
"Kalau begitu kemungkinan rumah sakitnya banyak kan? Kenapa kau memilih rumah sakit ini?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fiksi Penggemar[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...