Aku mengerjap perlahan berusaha menyesuaikan intensitas cahaya yang merasuki retina mataku. Ketika kesadaranku sudah sepenuhnya pulih yang kulihat adalah ruangan dengan dominasi warna putih.
Lagi-lagi aku mengerjap, berpikir dengan keras. Aku merasakan kepalaku berdenyut hebat, kupengang bagian keningku dan benar saja terdapat perban yang melilit kepalaku sekarang. Saat tanganku turun menyentuh wajahku, terdapat plester di pipi kananku. Lalu telapak tangan kananku pun juga dililit perban.
Ah, sial. Aku tidak mati.
Padahal kupikir saat Renjun berusaha bunuh diri dengan mengajakku, kami akan mati. Mobil putih itu melaju dengan amat kencang saat menabrak kami hingga membuat kami terpental. Kemungkinan kami selamat hanya sedikit. Sehingga aku telah mempersiapkan diri sematang mungkin. Toh, dengan begitu aku tidak akan pernah bertemu Renjun lagi.
Aku di surga dan dia di neraka.
Begitu pikirku.
Disamping ranjangku terdapat tirai biru sebagai pembatas. Mungkinkah di sebelah adalah ranjang milik Renjun?
Aku berusaha duduk perlahan, mengesampingkan rasa sakit yang menjalar di kepalaku. Kusibak tirai itu sedikit dan tidak ada siapapun disana. Hanya ranjang kosong.
Wah, apa mungkin Renjun sudah mati?
Aku menyeringai tipis. Kurebahkan tubuhku kembali di atas ranjang. Berusaha memposisikan tubuhku senyaman mungkin. Namun baru beberapa saat aku merasakan ketenangan pintu ruang rawatku terbuka. Menampilkan sosok Ayahku dengan wajah beringasnya.
Ia segera menghampiriku dan memukul kepalaku. Aku mengaduh kesakitan, dalam hati merutuki dirinya. Tidakkah ia melihat bahwa kepala anaknya ini tidak sedang baik-baik saja?
"Sakit!" bentakku membela diri.
"Kau pikir aku juga tidak sakit?! Aku sakit memikirkan bagaimana cara membayar rawat inapmu disini!"
"Lagipula siapa yang mau kecelakaan seperti ini?!" aku tidak mau seperti ini. Tapi Renjun telah menyeretku kedalam pusarannya, mau tidak mau aku juga jadi ikut menanggung bebannya.
Mau mati pun dia selalu merepotkan.
"Ayo pulang!" Ayah menarik tangan kananku yang terbalut perban. Aku mengaduh lagi, ia benar-benar kasar. Setelah aku berhasil ditariknya berdiri, kini tangannya sibuk menarik infusku, mencabutnya dari punggung tangan kiriku.
Darahku mengalir akibat cabutan paksa itu. Aku menangis, rasanya sakit sekali. Kepalaku terasa diremas-remas, tangan kananku mati rasa, dan tangan kiriku terasa amat perih.
Aku sudah muak dengan semua ini. Tidak Ayahku, tidak Renjun, semua laki-laki sama saja. Hanya menjadikan perempuan sebagai objek yang patut disakiti.
Kuraih vas bunga di nakas dengan tangan kiriku saat Ayah sibuk menarikku menuju pintu. Dengan tangan gemetar kuarahkan vas bunga itu tepat di belakang kepala Ayahku. Masa bodoh dengan pesan mendiang Ibu, saat ini Ayah pantas mendapat penghakiman dariku setelah sekian lama hanya aku yang diadili secara sepihak olehnya.
Aku justru senang jika harus hidup sendiri di dunia ini.
Aku akan bebas.
"PARK SOORA!"
Aku menoleh, Lucas berdiri di ambang pintu dengan matanya yang membelalak.
Arghhh sialan!
Sedetik kemudian aku menyeringai. Ah, bukankah tadi aku berpikir bahwa semua lelaki sama saja? Itu termasuk Lucas bukan?
Ia memang terlihat seperti di pihakku. Tetapi mungkin saja ia berkhianat. Ya, memakai topeng, sama seperti Renjun.
Jadi Lucas pun pantas untuk mendapat penghakiman dariku.
Tbc
(⊙o⊙)?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE | Huang Renjun
Fanfiction[COMPLETED] "Aku akan selalu bersamamu, Renjun." "Kau tak boleh bersamaku." "Mengapa?" "Hidupku, kau tahu kematian selalu mengikutiku." Dia kabur dan menghilang. Lalu bukankah 'dia' yang telah pergi tak akan pernah kembali? UPDATE SETIAP HARI SENIN...