47

731 108 3
                                    

"Ayo kejar dia, Jaemin!" serumu seraya berusaha melepaskan tanganmu dari pundak Jaemin.

"Bagaimana kalau bukan?" cegahnya berusaha membawa tubuhmu kembali bersandar padanya.

"Aku yakin sekali!"

"Tapi kakimu—"

"Makanya kau yang mengejar!" bentakmu kesal.

"Eh?"

"Arghhh sial!"

Kau segera menepis tangannya. Otak Jaemin benar-benar tidak terkoneksi dengan baik. Seolah semua sel-sel syarafnya memutuskan diri satu sama lain.

"Y—ya oke, aku akan mengejarnya," lalu ia menoleh pada sopir bus. "Pak, maaf ya kami tidak jadi naik."

Sopir bus mengangguk dan mulai mengemudikannya menjauh dari halte.

"Kau duduk di halte, biar aku yang mengejarnya." ujar Jaemin seraya memapahmu menuju halte.

Tanpa basa-basi Jaemin lekas mengejar sosok pemuda yang kau kenali sebagai Renjun. Semakin lama punggung Jaemin menjauh semakin suasana bertambah muram.

Kau berusaha memijat pergelangan kakimu sendiri. Kau meringis ketika jarimu berhasil menemukan pusat syaraf yang sakit.

Kondisi jalanan cukup lengang di tengah malam ini. Jika saat ini kau tidak mengharapkan sesuatu untuk datang, mungkin kau ketakutan disini. Bagaimana tidak? Kau duduk di halte sendirian bahkan sudah tidak banyak pejalan kaki yang lewat di depanmu.

Dua puluh menit berlalu.

Kau mendengus. Separuh hatimu gelisah karena takut terjadi sesuatu pada Jaemin. Pikiranmu yang lain pun berusaha menepis kemungkinan bahwa Jaemin ternyata hanya bergurau dan saat ini ia telah bersantai di rumah mewahnya.

Tidak, Jaemin tidak seperti itu!

Tiga puluh menit berlalu.

Kau hampir putus asa karena Jaemin tidak mengangkat panggilanmu.

Kau mengusak ponimu kebelakang. Harapan selalu membuatmu tercekik. Sejak dulu kau benci berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Tetapi sejak Renjun hadir di hidupmu rasanya tidak masalah kau berharap meski hanya sedikit.

Nyatanya sesuatu yang sedikit jika dibiarkan akan bertambah besar.

Ketika kau benar-benar telah mencapai keputus-asaan, dering ponselmu membuatmu tak bisa berkutik.

Nama yang tertera di sana adalah nama yang selama dua tahun ini kau tunggu.

Wong Lucas.

"H—halo?" sapamu ragu.

"Park Soora?" tanyanya meyakinkan.

"Ya, ini aku."

"..."

"Ada apa?"

"A—anu, itu, ngg—apa kau melihat Renjun?" tanya Lucas dengan tergagap, seolah jika ia salah mengucapkan maka masalah akan menghampirinya.

Kedua matamu membola. Jadi, apa benar pemuda tadi adalah Renjun?

"Entahlah aku tidak yakin." jawabmu.

"M—maaf selama ini aku tak pernah mengangkat teleponmu dan tak pernah mengabarimu. Ini semua permintaan Renjun."

Kau mengernyit. Memangnya kenapa ia harus merahasiakan semua ini darimu?

"Mengapa?" tanyamu lirih. Entah kenapa hatimu terasa sakit. Bukankah itu berarti Renjun tak bisa mempercayaimu? Ataukah ia sedang menyembunyikan sesuatu darimu?

Namun, dari semua pertanyaan yang berkecamuk dipikiranmu itu, ada satu pertanyaan yang selama ini ingin kau dengar jawabannya.

Apakah pengobatan Renjun berhasil?

Apakah fisiknya sudah sehat? Apakah kondisi mentalnya telah pulih?

Semua pikiran itulah yang mengganggumu selama ini. Bahkan kau sempat mengalami insomnia karena setiap malam kau selalu gelisah.

"Ia tak ingin membuatmu khawatir."

"Maaf?"

"Katanya ia akan menemuimu jika waktunya sudah tepat."

Kau mendesah berat, lagi-lagi Renjun seperti ini. Menjadikan waktu sebagai alibinya. Membuat otak dan hatimu tak bisa diajak kompromi.

"Tapi kapan—"

Ucapanmu tersendat ketika kau melihat Jaemin dikejauhan.

Ia menghampirimu bersama seorang pemuda yang tubuhnya tak asing dimatamu. Tubuhnya terlihat semakin kurus, pipinya tirus, kulitnya pucat, dan matanya sayu.

Seraya menghampirimu pemuda itu melepas topinya. Ia mendongak, lalu tersenyum lembut kearahmu. Bahkan bibirnya yang pucat itu terlihat berusaha mati-matian melengkung.

"Huang Renjun?"

Sial, apakah pengobatannya selama ini tidak berhasil?!

"Ma—maaf membuatmu harus menunggu sesuatu yang tidak pasti."

Pelupuk matamu rasanya telah penuh oleh cairan bening yang kapan saja siap meluncur keluar. "Aku benci jika hasilnya seperti ini."

Ia berhenti melangkah mendekatimu, lalu menunduk memandang sepatunya yang berwarna biru langit.

"Aku benci jika penantianku selama ini sia-sia. Aku benci harus berharap padamu, Huang Renjun!" teriakmu marah seraya mendekat kearahnya.

"Soora—" tegur Jaemin padamu. Namun kau sudah lebih dulu mendelik padanya hingga ia mengurungkan niatnya untuk berbicara.

Kau memeluknya sangat erat, berusaha menyampaikan segala emosi yang kau pendam selama ini. Renjun balas memelukmu seraya mengusap rambutmu lembut.

"Aku tidak suka jika dua tahun ini berakhir sia-sia." ujarmu masih dengan isakan tangis.

Ia menggeleng. "Tidak sia-sia. Aku sudah kembali."

"Bukan itu yang kumaksud." jawabmu seraya melepas pelukanmu.

Kau mendongak menatap manik kelam milik Renjun. Matanya tidak hidup.

Kau benci melihatnya seperti ini.

"Pengobatanmu tidak berhasil kan?"

Senyum yang terpatri di wajah Renjun mendadak hilang, tergantikan dengan wajah datar dan rahangnya yang mengeras.

















Tbc

Σ( ° △ °)

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang