43

671 113 14
                                    

Renjun mendelik padamu, lalu sedetik kemudian ia melayangkan kepalan telapak tangannya pada pipimu.

PLAKK!!

Semua orang di ruangan itu terkejut melihatnya. Kau sendiri tak menyangka bahwa Renjun akan menamparmu dengan kondisinya yang cukup lemah saat ini.

"Jangan gila, Park Soora!" ucapnya lantang.

Kau menatapnya nanar. Kau tahu ucapanmu barusan tak pantas diucapkan pada seseorang yang bahkan kondisinya tak cukup baik.

'Mati bersama?' hah, apa-apaan itu?

"Lalu kalau kau pergi aku harus bagaimana?!" serumu dengan keras hingga membuat suaramu memantul di ruangan tersebut.

Jaemin dan Lucas segera memegang bahumu. Mereka berdua berusaha menyeretmu keluar dari ruangan tersebut, namun kau bergeming, tak melangkah sedikit pun dari samping ranjang Renjun.

"Cukup hiduplah dengan baik." jawabnya lemah. Sepertinya energi miliknya yang tersisa telah ia keluarkan untuk menamparmu tadi.

"Bagaimana..., bagaimana bisa aku hidup dengan baik saat kehadiranmu dalam hidupku saja sudah membuat semuanya tidak baik-baik saja?!"

Renjun menghela nafas panjang. Matanya yang tadi menatapku, kini ia palingkan ke arah langit-langit ruangan.

"Aku minta maaf."

"Hidupku, kau harus mengembalikannya seperti semula."

Renjun terdiam cukup lama. Semua orang di sana juga bergeming. Kau yakin sekali mereka semua berdoa agar dokter segera datang. Setidaknya jika dokter datang, ia akan mengusir kalian semua, dengan begitu mereka tak perlu memikirkan alasan lain untuk mengusirmu.

"Jawab Huang Renjun!" serumu sekali lagi.

Kini Renjun menatapku lagi. Sekarang matanya benar-benar memerah. "Aku harus bagaimana? Kalau bisa aku pasti sudah mengembalikannya ke keadaan semula. Keadaan dimana kita tak harus bertemu, tak harus saling mengenal, dan tak harus saling menyakiti."

Kau jatuh terduduk di samping ranjang, menangis tersedu di sana. Kau benci seperti ini. Kau benci harus ditinggal.

Renjun akan pergi, meninggalkanmu.

Membayangkannya saja sudah membuat perutmu mual. Tidakkah cukup Ibumu saja yang pergi? Takdir hidupmu benar-benar menyebalkan.

"Aku tidak tahu harus bagaimana."

"Cukup hidup dengan baik saja, Soora." jawabnya tersendat.

Bukan hanya untukmu, Renjun-pun merasakan sakit yang sama.

"Aku mencintaimu." lanjutnya.

Kau bangkit lalu berdiri dengan yakin di hadapan Renjun. "Seharusnya kau tak perlu mengucapkan hal itu untuk perpisahan, bodoh!"

Kau berbalik menatap Jaemin yang sejak tadi mengerutkan keningnya. "Ayo pulang."

Jaemin terlihat akan menyanggah ucapanmu tetapi beberapa detik kemudian segera mengatupkan bibirnya dan mengangguk.

Kau dan Jaemin segera membungkuk pada Lucas dan kedua orang tuanya. Saat kau baru beberapa langkah meninggalkan ruangan Renjun, Lucas datang dan mencegatmu di depan.

"Kau yakin?" tanyanya.

"Tentu saja." jawabmu datar.

"Maksudku, kau benar-benar yakin? Kemungkinan besar kau tak akan pernah menemuinya lagi."

Kau mengendikkan bahumu. "Tak masalah asal aku bisa hidup dengan baik."

Jaemin menoleh padamu. "Soora..."

Kau mengangkat kedua tanganmu ke atas. "Cukup. Tolong jangan buat aku meragukan pilihanku."

Kau segera berjalan lagi menjauh dari Lucas, begitu pula dengan Jaemin yang mengikutimu.

Sepanjang koridor yang terasa panjang ini kau hanya bisa menarik nafasmu kuat-kuat lalu menghembuskannya perlahan. Kau tak ingin menangis lagi. Perpisahan ini adalah pilihanmu, juga pilihan Renjun, maka kau tak bisa terus larut dalam kesedihan ini.

Perpisahan memang menyakitkan.

Tapi hidup jauh lebih pahit dari itu.

Kehadiran Renjun membuatmu sadar bahwa sesungguhnya seseorang dapat berubah hanya karena kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dan cukup akan mampu membentuk pribadi seseorang menjadi penyayang dan lemah lembut. Namun, kurangnya kasih sayang justru menyebabkan seseorang dapat bertindak di luar nalar, menyakiti sesama seakan itu perbuatan yang wajar.

Seandainya kau bertemu Renjun lebih cepat dari takdir ini, mungkinkah kau dapat menyelamatkan hidup Renjun dari kesesatan?

Mungkinkah jika kalian bertemu lebih cepat, akhirnya tidak akan ada perpisahan seperti ini?

Seandainya... Jika... Mungkin... Apakah...

Manusia selalu seperti itu.

Tidak akan ada yang puas dengan takdir yang telah Tuhan gariskan pada mereka. Seperti dirimu, kau dulu membenci takdir karena mempertemukan dirimu dengan sosok Renjun yang selalu menyakitimu. Lalu sekarang kau justru membenci takdir yang memisahkan kalian.

Saat kau keluar dari rumah sakit, kau mendongak sejenak untuk menatap langit malam yang benderang. Para bintang tampak gemerlap, seolah mengejekmu yang saat ini tengah bermuram durja.

Cih, apa peduli mereka?

"Cantik ya?" ujar Jaemin di sampingmu.

Kau menoleh dan mendapati temanmu itu tengah menatap langit, sama sepertimu.

"Kau mengejekku?" jawabmu ketus.

"Anggap saja hari ini adalah perpisahan terbaikmu. Tak selamanya perpisahan selalu menyakitkan, Renjun memilih ini demi kebaikan kalian. Aku yakin Renjun juga berat mengambil keputusan ini."

"Tahu apa kau?!" jawabmu sarkas.

"Aku tidak tahu apa-apa. Tetapi melihatmu menangis seperti itu dan Renjun yang menamparmu karena ucapanmu, semua itu membuktikan bahwa hubungan kalian sebenarnya sulit."

Kau menggigit bibir bawahmu. Ucapan Jaemin benar sekali. "Ya, semuanya sulit."

Jaemin membelalak, seperti tak menyangka bahwa ucapannya tepat. "Kalau begitu, perpisahan ini pilihan terbaik bukan?"

Kau mengangguk berat.

Sekali lagi kau memandang langit malam.

Tidak, semua bintang itu tidak mengejek. Mereka hanya berusaha menguatkanmu. Menyadarkanmu bahwa masih ada kebahagiaan lain yang menantimu.

Seperti ucapan Jaemin, perpisahan ini adalah pilihan terbaik.

Pilihan terbaik agar kalian tak saling menyakiti lagi.

Kebersamaan kalian hanya akan membuat hati yang saling mencintai itu justru memiliki dua mata pisau. Mencintai sekaligus menyakiti. Jelas pada akhirnya hubungan kalian tak akan sehat.

Sejak awal hubungan kalian sudah sulit.

















Tbc

(╥_╥)

Fyi guys, cerita ini aku buat 50 chapter, jadi bentar lagi mau end.

Apakah ada yang bisa nebak gimana endingnya nanti? >_<

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang