48

770 105 2
                                    

Sudah seminggu sejak Renjun kembali dan ia harus bolak-balik ke Rumah Sakit. Hal itu tentu saja menganggu pikiranmu. Setiap mengikuti kelas pun kau tak aktif seperti biasanya, cenderung pasif dan hanya bisa mencatat apa yang diterangkan oleh dosen.

Renjun masih sakit.

Satu hal itu yang kau tahu pasti. Fisiknya semakin lemah, tapi kata Lucas mentalnya menunjukkan perubahan yang signifikan.

Akhirnya Renjun mulai bisa menjalani hidup sebagai orang normal.

Selama dua tahun juga Renjun berkali-kali mengunjungi Mamanya, berusaha menyadarkan sang Mama bahwa ia adalah anaknya. Namun selama itu juga Mamanya tak pernah sekali pun menganggap Renjun, seolah sengaja menghapus nama Renjun dari ingatannya.

Lagi-lagi tanpa sadar kau menitikkan air mata.

Berat sekali rasanya. Kau ingin lekas melupakan Renjun tetapi hatimu menolaknya.

Tidak bisa.

Renjun sudah merebut hatimu sepenuhnya sejak hari di mana kau memikirkan tentang perasaanmu padanya. Ini bukan perasaan kasihan. Memang awalnya begitu, tapi rasa kasihan itu kini telah berkembang menjadi rasa yang setiap orang bahkan tak bisa mendeskripsikannya.

"Park Soora?" panggil seseorang yang duduk disampingmu.

Tanpa sadar kau langsung menoleh dengan air mata yang masih mengalir di pipimu.

Haechan —orang yang memanggilmu— membelalak. "Hei, kenapa kau menangis?" bisiknya.

Kau yang sama terkejutnya karena terpergok menangis langsung menghapus air matamu. "A—ah ini,"

"Ada masalah?" tanyanya khawatir.

"Sedikit."

Haechan mengangguk-anguk. "Kalau tidak kuat izin saja, nanti kupinjami catatanku."

"Nggak apa-apa." jawabmu seraya menggeleng tegas.

Haechan lagi-lagi memgangguk dan kembali memfokuskan atensinya ke depan. Kau juga berusaha untuk fokus pada materi yang disampaikan oleh dosenmu tetapi hal itu justru membuat pikiranmu kembali melayang.

"Haechan?" panggilmu lirih, takut menganggu orang-orang disekitarmu yang sedang fokus pada materi.

"Ya?" jawabnya tanpa menoleh padamu dan terus mencatat.

Kau menggaruk tengkukmu yang tidak gatal. Dilema harus mengatakan pada Haechan atau tidak.

Setelah bergulat cukup lama dengan pikiranmu, kau memutuskan untuk memberitahu pada Haechan walau sedikit.

"A—anu, dia sudah kembali seminggu yang lalu."

Haechan menghentikan aktivitasnya lalu menoleh padamu. "Bagus dong."

Kau mengangguk setuju. Memang bagus Renjun kembali, tetapi kondisinya yang seperti ini di luar ekspetasimu.

"Tapi dia sakit."

"Sakit 'kan bisa diobati." jawabnya enteng sembari kembali mencatat.

Kau mendesah berat. Kalau saja sakit yang dialami Renjun tidak separah ini mungkin kau hanya akan mengangguk mendengar jawaban Haechan. Masalahnya saat ini penyakit Renjun tidak tahu apakah masih bisa diobati atau tidak.

Dia berada di ambang kematian.

Seperti yang dikatakannya, kematian selalu mengikutinya.

Seharusnya kau segera menjauhi Renjun saat pertama kali ia berkata seperti itu. Namun perasaan itu sudah terlanjur kau pupuk hingga terus berkembang sampai saat ini.

Takdir memang semenarik itu.

Melihat ekspresimu yang berubah sendu apalagi kau tak menjawab ucapannya, Haechan menoleh padamu. "Sakit apa? Parah ya?"

Kau tersenyum kecut dan mengangguk lemah.

"Ah, maaf." ujarnya merasa tak enak.

"Nggak apa-apa."

"Hmm, kalau boleh tahu dia pergi karena apa?"

"Mengobati tubuhnya."

"Sudah lama dia sakit?"

"Lama sekali sampai menimbulkan luka sebanyak itu pada tubuh ringkihnya."

"Jadi pengobatannya selama ini tidak berhasil?"

Kau membuang nafasmu berat. "Pengobatan fisik memang berangsur-angsur membaik, tapi mentalnya—"

Kau menatap Haechan seraya memaksakan senyum. "—seharusnya ikut membaik juga kan?"

Haechan mengernyit mendengar penuturanmu. "Ja—jadi, dia sakit mental juga?"

"Iya."

"Apa?"

Tatapanmu berubah tajam. "Sering menyakiti diri sendiri dan—"

Haechan terdiam. Kau tak sanggup melanjutkan ucapanmu karena tahu Haechan akan menjawab apa nanti.

"—menunjukkan tanda-tanda psikopat. Ah, atau mungkin memang psikopat karena ia berkali-kali mencoba membunuhku."

Tubuh Haechan membeku. Sesaat kemudian ia berkata. "Kondisi mental seperti itu bukankah sulit sekali disembuhkan? Bahkan dalam beberapa kasus tak bisa disembuhkan."

Kau bergeming menunggu jawahan Haechan yang lain.

"Meski tidak muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain dalam beberapa tahun, itu bukan berarti dia sudah sembuh. Dia hanya sedang berusaha keras menahan monster yang haus darah di dalam dirinya."

Kau mendengus lalu tersenyum miring. Ini adalah jawaban yang sudah kau tebak akan keluar dari mulut Haechan.

Memang benar penyakit ini sulit disembuhkan, tetapi kau memutuskan membohongi dirimu sendiri. Kau mendoktrin pikiranmu bahwa apa yang dikatakan Lucas benar.

Renjun bisa kembali normal.

Pasti bisa.

"Kusarankan kau untuk menjauhinya. Orang-orang yang seperti itu akan cenderung melepaskan monsternya yang sudah ditahan lama pada orang terdekatnya."

"Aku yakin dia bisa sembuh." jawabmu tegas seraya berpaling darinya.

"Kau gila ya? Ini menyangkut nyawamu Park Soora."

Kau meletakkan penamu dengan kasar dan menatap nyalang pada Haechan.

"Aku hanya mencintainya! Aku memilih jurusan ini karena ingin membantunya untuk sembuh, aku yakin aku bisa menolongnya!"

"Kau putus asa." jawabnya dingin.

"Apa?"

"Kau hanya mendoktrin dirimu dengan sesuatu yang realitasnya saja sudah pasti."

Kau bergeming. Dadamu sesak karena harus menahan amarah dan tangis di saat bersamaan.

"Percuma membohongi dirimu sendiri, Park Soora." lanjutnya.

Hatimu rasanya hancur saat itu juga.
















Tbc

(╥╯﹏╰╥)ง

Mau ngingetin nih 2 chapter lagi selesai lho ya :"v

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang