27

735 114 4
                                    

Sejak hari itu Renjun selalu menjeputmu setiap pagi untuk mengantarkanmu ke sekolah. Sorenya ia juga akan menunggumu di depan gerbang sekolah untuk mengantarkanmu pulang.

Sudah berkali-kali kau menolaknya toh, kau masih bisa menaiki bus. Namun Renjun tetap teguh pada pendiriannya.

Kring! Kring!

Seperti hari ini ia telah menunggumu di depan rumah bersama sepeda kesayangannya. Bersiap mengantarkanmu menuntut ilmu.

"Sudah kubilang berhenti menjemputku."

"Lagipula Ayahmu tidak marah 'kan?"

Kau mendengus. Ia selalu saja punya alasan ketika kau menolaknya seperti ini. Sebenarnya ada sesuatu hal yang membuatmu menolak perilaku baik Renjun ini.

Pertama, jujur kau masih takut berhubungan dengan Renjun. Ia posesif pada orang yang dianggapnya lebih dari siapapun. Kau tahu fakta ini setelah beberapa bulan terakhir.

Renjun akan marah jika kau keluar bersama temanmu meski itu hanya kerja kelompok. Ia marah jika ada anak laki-laki yang mendekatimu meski itu hanya sekedar bertanya materi pelajaran.

Namun, di satu sisi ia akan menurut padamu melebihi siapapun. Ia menurut jika kau menyuruhnya meminum obat, ia menurut saat kau membujuknya untuk kontrol ke rumah sakit, dan ia selalu menurut saat kau menyuruhnya fokus pada sekolah home schoolingnya.

Kau tak tahu sebenarnya hubunganmu dan Renjun ini disebut apa.

Hubungan pertemanan? Atau hubungan antara sandera dan penculiknya?

Yah, bukankah saat ini kau bisa disebut sanderanya? Bukankah kau tak bisa lepas dari Renjun meski ia menurut padamu?

Kau ingin kabur. Sungguh. Tapi kau bisa apa dihadapan Renjun?

Kedua, fisik Renjun tidak benar-benar baik. Kau takut membuatnya lelah jika harus antar-jemput dengan memboncengmu. Apalagi ia masih harus kontrol secara rutin.

Ketiga, kau tak yakin apakah Renjun ikhlas melakukan hal ini.

Bisa saja bukan Renjun meminta imbalannya sama seperti saat ia memberimu buku itu?

"Ayo naik, nanti telat." seru Renjun membuatmu kembali tersadar dari lamunanmu.

Dengan berat hati kau naik di boncengan sepedanya. Hari ini ia berbeda. Di perjalanan ia terus tertawa, bersenandung dan bercerita banyak hal. Biasanya ia hanya bertanya hal-hal semacam,

"Tadi sudah sarapan 'kan?"

"Bagaimana tugasmu? Sudah selesai semua?"

"Semalam tidur nyenyak tidak?"

Jujur kau sedang dalam fase bimbang. Sehingga saat Renjun bercerita banyak hal hari ini kau tak menanggapi satu pun ceritanya.

"Soora?"

Kau diam, masih bergulat dengan pikiranmu sendiri.

"Soora!"

Ia menghentikan sepedanya, membuatmu tersentak, "Y—ya?"

"Kau tidak mendengarkanku ya dari tadi?" ia tidak menoleh tetapi dari nada suaranya yang tajam dan dingin, kau tahu bahwa saat ini Renjun sedang marah.

Sial!

"M—maaf, aku sedang memikirkan—"

"APA?! MEMIKIRKAN NA JAEMIN ITU?"

Mulutmu berkedut, lagi-lagi Renjun selalu menyangkutpautkan Na Jaemin, teman sekelasmu yang saat itu dipergoki oleh Renjun. Jaemin hanya teman sekelas biasa yang tak kau anggap lebih. Saat itu ia hanya bertanya materi pelajaran.

"Aku belum selesai bicara, Renjun." jawabmu halus. Kau tak ingin memancing amarah Renjun karena sekarang kalian tengah berada di jalan khusus sepeda. Jalan ini sempit dan banyak anak sekolah berlalu-lalang disini. Apalagi samping kalian adalah jalan raya yang hanya dibatasi oleh pagar tanaman.

Tanpa kau duga ia justru langsung menjatuhkan sepedanya. Hal itu membuatmu ikut terjatuh karena tak ada persiapan sebelumnya.

Kau mendongak, menatap Renjun kesakitan. Kakimu berdarah sekarang karena tergores batang yang tajam.

"Kau sama saja dengan orang lain! Tidak ada yang menghargaiku!"

"Renjun, kau salam paham..."

Ia menatapmu membunuh. Kau paling benci dengan tatapan Renjun yang seperti itu. "Perilakumu itu membuatku muak! Aku sudah berusaha menjadi lebih baik demi dirimu, tapi apa balasanmu, Soora?!"

Belum sempat kau menjawab Renjun sudah menarik paksa tanganmu untuk berdiri. Dengan cepat ia membenarkan posisi sepedanya.

"Naik!" perintahnya.

Kau naik dengan rasa takut. Sekarang yang janggal adalah, mengapa Renjun memutar arah?

"Renjun ini bukan jalan ke sekolahku."

"Memang bukan. Tapi jalan menuju neraka."


















Tbc
ˋ﹏ˊ

ESCAPE | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang