Part 46 - Bad, Bad, Soo Bad!

432 21 2
                                    

Sebelum baca aku mau nanya nih. Kalian lebih suka POV dari Author (aku) atau Hazelnya langsung?

Buat yg gak paham, aku jelasin dulu ya...
Jadi di beberapa chapter terakhir itu aku bikin tulisan pake POV Author, nah di chapter ini baru deh balik lagi ke awal banget, POV Hazel.

Kalian yg ngeh sama maksudku boleh dong di jelasin di kolom komentar :)

Kalo aku lebih nyaman nulis pake POV author ya, cuman kalo vote Hazel lebih banyak aku pasti akan ganti or selang-seling biar kalian gak bosen 😊

Okey... Gitu aja sih. Jangan lupa komen yaa!

Selamat membaca?!

~~~~

"Su-suami?"

Suaraku sedikit bergetar. Menandakan intonasi kegugupan yang seketika melanda diri. Bahkan kedua mataku sudah melebar kaget, melotot dengan lebar tanpa berkedip untuk beberapa waktu lamanya.

Aku berusaha keras menetralkan ekspresiku pada sosok di sampingku ini. Ia yang usianya kutaksir seumuran dengan nenek dari para remaja sebaya pada umumnya. Pandangan wanita tua ini masih terarah pada sosok lelaki di depan sana. Ia yang tak perlu lagi bersusah payah kujelaskan keadaannya.

"Suami? Heh!" Batinku menyerapah sarkastik.

Namun walau wajahku menunjukkan ketidakpedulian yang nyata, dalam sudut kecil hati aku merasa kasihan dengan dirinya. Aku ingin ia menyerah saja. Beristirahat. Mengisi kekosongan tempat duduk yang ada. "Kenzo duduklah, kamu pasti cape! Tak usah terus mengawasiku dengan mata tajammu itu?! Aku pasti akan baik-baik saja tanpa pengawasan darimu!" Tapi apa daya, ucapan itu hanya berakhir di ujung lidah. Tanpa pernah terucap sama sekali.

Aku tahu waktu sudah lama bergulir, namun ia masih tetap pada posisi yang sama. Berdiri mengawasiku dengan tangan kanan yang bertumpu pada pegangan diatas langit-langit bus yang ada. Aku bertanya-tanya apa ia tidak merasa cape? Atau bosan dengan apa yang ia lakukan saat ini? Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Waktu sudah lama bergulir. Sementara ia terus menerus berdiri terbukti dengan bus yang berjalan menembus ramainya jalanan ini.

"Hei gadis manis," pandanganku terputus. Begitu juga dengan pikiranku. Yang semula tanpa sadar terus menerus menatap pada satu objek yang sama. Tentu saja Kenzo, siapa lagi. "Jangan bengong disini, nanti kalo ada hantu yang mengambil alih pikiranmu bisa bahaya!" Lagi-lagi suara wanita tua itu.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman ala kadar. Ekor mataku menangkap ekspresi jenaka di wajah Kenzo. Oh, God! Aku ketahuan! Mencuri pandang ke arahnya dalam waktu yang, ehrr, bisa dikatakan sangat lama.

Buruk, buruk. Sangat buruk!

"Apanya yang buruk?"

"Ah, apa?" Lagi-lagi aku memandang nenek ini penuh tanya. Apa ia sedang berbicara denganku?

"Ck-ck, Hazel. Aku memang tak tahu permasalahan kalian berdua, tapi setidaknya beri dia waktu untuk menjelaskan semua kesalahpahaman yang ada."

Memberinya waktu...

Untuk menjelaskan segalanya?

"Jangan kucing-kucingan seperti ini. Tak akan menyelesaikan masalah. Malah akan memperunyam keadaan."

Benarkah?

"Mengalah bukan berarti kalah. Mengalah demi kebaikan bersama akan lebih bermakna jika suatu permasalahan bisa diselesaikan karenanya."

Aku tahu itu, tapi...

Tetap saja terasa sulit...

Jika aku mengalah, segalanya akan terasa mudah bagi Kenzo. Aku takut di kemudian hari ia akan melakukan hal yang sama. Menyakitiku. Mempermainkanku.

"Jangan dulu berpikiran negatif, gadis cantik. Semua pasti punya alasan untuk suatu penjelasan." Sementara wanita itu berbicara panjang lebar, aku malah sibuk berkutat dengan segala pemikiran. Mengenai sisi baik juga sisi negatif yang ada. Aku tahu terus menerus lari dari masalah seperti ini tak akan menyelesaikan apapun. Tapi tetap saja, sedikit ego dalam diriku memberontak untuk mengusulkan satu jalan pintas yang sudah pasti akan membuat segalanya lebih baik, memaafkan Kenzo.

Itu buruk! Aku tak siap disakiti lagi. Sudut kecil hatiku bersuara sambil sedikit memaki. Ya, dengan satu saja kata maaf yang kuberikan pada Kenzo nanti sama dengan menggadaikan keselamatan hatiku di kemudian hari. Aku takut ia akan kembali menyakiti dan mempermainkanku. Yang akan berefek dalam bagi kekuatan diriku yang mulai rapuh terhadap segala situasi. Terlebih dirinya yang terasa mengganjal dalam keadaan krisis saat ini.

Tiba-tiba kurasakan tepukan halus di pundakku. Tanpa menolehpun aku sudah mengetahui siapa pelakunya, pasti wanita tua ini. Kutatap ia dengan raut wajah penuh tanya. Kerutan di sepanjang wajah berseri itu tak bisa menutupi ekspresi teduh layaknya pohon kelapa ditengah padang pasir. Aku seakan menatap pantulan wajah seorang wanita yang biasa mereka panggil dengan sebutan orang tua. Ibu...

Menyesakkan...

"Buka matamu lebar-lebar, Hazel. Lelaki itu adalah satu-satunya alasan bagimu untuk hidup di dunia ini. Jangan terlalu pelit dengan kata maaf. Sebelum segalanya terlambat. Lebih baik maafkanlah dia. Toh juga nanti efek sampingnya akan lebih membahagiakan untuk dirimu," sebelum aku bisa mencerna perkataannya lebih lanjut, ia tiba-tiba berdiri. Membuatku secara otomatis menggeser tempat duduk agar ia bisa keluar dan mengambil langkah panjang turun dari bus yang telah lama berhenti. Tanpa kusadari sejak kapan waktu telah berlalu begitu saja.

Namun sebelum itu, ia berdiri di hadapanku. Tersenyum sambil menggenggam tanganku hangat. Lantas ia berkata, "Lunturkan egomu, Hazel. Jangan terlalu berharap banyak padanya. Semuanya akan lebih baik jika kamu membiarkannya begitu saja. Percayalah padaku."

Sudah.

Hanya itu.

Tak ada kata lainnya.

Sepanjang perjalanan yang entah menuju kemana itu berakhir begitu saja. Dengan keterdiaman juga lamunanku yang berujung hampa. Sampai waktu menunjukkan pukul tujuh malam, aku baru sampai pada salah satu tempat pemberhentian terakhir. Tebak dimana?

Dengan segala kearogansian yang kumiliki, kutinggalkan ia dibelakang sana. Terus menerus mengikutiku yang berjarak hampir satu setengah meter darinya. Tanpa kata, tanpa rasa. Menuju keramaian taman kota yang penuh dengan segala kegiatan yang ada.

Malam itu, ditengah hingar bingar kegaduhan, aku terdiam. Memikirkan satu-satunya alasan yang bisa membuatku menyadari sesuatu, bahwa benar. Kata maaf adalah kunci utama segala permasalahan yang ada. Maaf bukan berarti kalah, justru maaf adalah cita yang membangun asa. Dari petuah wanita tua disepanjang perjalanan bus itu, aku paham. Tak ada satupun cobaan dari Tuhan yang tak bisa terselesaikan. Tergantung manusianya, paham atau tidak dengan massa cobaan itu sendiri.

Yang pasti, satu yang kutahu. Aku...

Harus memaafkan lelaki itu.

*****

Buat kalian yg kepo, nama ig aku sarahrmdhnia34 😝...

[MWS:2] Werewolf Mate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang