Mereka sukses pulang dengan Damri, maklum itu bus nggak bakal ada lagi kalau sudah lewat pukul setengah enam sore. Jadi, tidak enaknya kalau naik kendaraan umum ya begitu, banyak aturan. Tapi demi Gita, apa sih yang enggak?
Di dalam perjalanan pulang, Gilang menguap, Gita pun ketularan menguap. Lalu mereka tertawa. Memang 'kan, menguap itu menular. Sudah hukum alam. Kata siapa? Ya kata siapa kek, bodo amat.
"Gita, ngantuk ya?" tanya Gilang.
Pas banget nih, buat modus.
Gita mengangkat bahu. "Nggak kok, masih seger."
Selamat, modusmu gagal total, Gemilang!
"Ooh, saya ngantuk sih, dikit ..." Gilang malah jujur. Berharap bisa memejamkan mata, barang sepuluh menit, mumpung masih jauh perjalanan.
"Yaudah tidur dulu aja, masih jauh, kita 'kan sampe terminal, jadi nggak bakalan kelewat," Gita menganjurkan.
"Tapi nanti kamu gak ada yang ajak ngobrol?" Gilang mulai kucek-kucek mata.
"Ya, bisa ngobrol sama kaca." Gita mengetuk kaca bus di sampingnya.
"Yaaa, sedih banget ..." Gilang tertawa, tapi matanya hampir merem sekarang. Gita jadi kasihan melihatnya.
Gilang pun menggelosor ke bawah sedikit, mencari posisi enak. Maklum, kakinya kepanjanganㅡ kalau duduknya tegak, kepalanya nggak muat di sandaran kursi.
Tapi namanya juga Gilang, ngantukan, di mana juga jadi. WC juga bisa.
Bus kota? Nyaman lah! Pakai AC pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Gilang pun mulai menyeberang ke negeri kapas.
Gita memerhatikan mulai dari mata Gilang masih terbuka setengah, sampai benar-benar tertutup. Gita tersenyum geli melihat kepala Gilang terkulai ke bahunya macam boneka rusak.
Jalanan lumayan macet sore itu, karena hari minggu. Sudah sekitar dua puluh menit mereka terjebak di lampu merah. Begitu Gita yakin kalau Gilang sudah benar-benar menyeberang ke negeri kapas, gadis itu pun menegakkan bahunya, dan menggeser kepala Gilang ke bahunya, agar bisa beristirahat lebih nyaman. Ia khawatir leher Gilang sakit kalau posisi tidurnya seperti tadi.
Pelipis Gilang pun mendarat lembut di bahu Gita. Rambut lebat Gilang menggelitik lehernya. Rasanya aneh, tapi nyaman sekali. Entah mengapa Gita tidak terganggu dengan jarak mereka yang begitu dekat. Ia bisa mendengar hembusan pelan napas Gilangㅡ seolah menenangkan relung hatinya.
Gita sadar bahwa dirinya seperti membiarkan api tersulut, merambat perlahan ke dalam hatinya. Membakar sedikit demi sedikit isi hatinya yang telah lama kering. Ia sendiri semakin bingung dengan segala tindakannya akhir-akhir ini.
***
Gilang lagi senyam-senyumㅡ karena tadi bangun-bangun, posisi kepalanya bersandar di bahu Gita. Lalu Gita gimana? Gita juga ketiduran, pipinya menempel di puncak kepala Gilang. So sweet nggak? Gilang sudah nyaris terbang ke awang-awang tadi.
Gimana ceritanya posisinya bisa begitu? Gilang juga tidak tahu. Hanya Gita yang tahu, tapi Gilang nggak mau bahas, takut Gita kesal. Siapa tahu tadi Gita kesirep setan ongol-ongol, jadi so sweet ke Gilang.
Gilang berdoa semoga setan ongol-ongol tetap beroperasi.
Mereka sekarang berjalan ke arah parkiran mobil, meski dia tak mau hari ini berakhir begitu saja. Malam masih panjang, terlalu sayang untuk disia-siakan. Sebenarnya, rumah Gilang sudah dekat dari situ, dan dia pengin banget ajak Gita ke rumahnya. Dikenalkan ke Gegem, ke Bapak sama Ibuㅡ kalau sudah pulang dari Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say My Name
Romance| Romance Comedy | Part of College Comedy Series | Gempita Maharani tidak pernah mengira bangun kesiangan akan mengubah seluruh rencananya. Kejadian konyol soal salah ambil makalah di tempat fotokopi, mengakibatkan ia harus mencari seseorang ke faku...