Genta tersenyum dari jauh, melihat adiknya yang sedang menunduk, fokus pada layar hp di tangannya. Sesuai janji, mereka akan bertemu di depan Mekdi stasiun.
"DOR!"
Gita, yang pada dasarnya tipe manusia kagetan, langsung melompat menjauh dengan wajah bingung. Genta justru tergelak melihat ekspresi aneh adiknya.
"Aduuh, orang kayak kamu nggak cocok dibawa perang!" ujar Genta sambil mengacak rambut Gita.
"Ye siapa juga yang mau berangkat perang! Nyebelin ya! Masih aja!" Gita menggebuk lengan masnya yang berkali lipat lebih besar dari tangannya sendiri.
Kangen, sebenarnya Gita kangen sekali pada Mas Genta, si raksasa yang tampilannya mendekati preman Tanah Abang, tapi hatinya macam Olaf. Sahabat, sekaligus penasihatnya, pelindungnya, tameng bajanya.
"Udah makan belom?" Genta menarik tas ransel adiknya dan memindahkannya ke bahunya sendiri.
"Udah tadi sebelum berangkat, masih okelah. Nanti mau makan masakan ibu aja di rumah!" ujarnya semangat.
"Baguslah ... ngirit, gue gak usah jajanin!" Genta berjalan duluan.
"Yaa ntar malem aja Mas!"
"Ogah, jajanan malem lebih mahal!"
***
Sesampainya di rumah mereka, Gita langsung menghambur ke arah ibunya, yang sudah menunggu kedatangannya dengan senyuman lebar.
"Ibu! Ibu nggak ada praktek 'kan, hari ini?" Gita sun tangan ibunya.
"Nggak ada sayang, libur, 'kan mau kedatengan anak gadis Ibu ..."
"Aku paling kangen sama ibu!" Gita pun memeluk ibunya erat-erat. Menghirup wangi lembut floral dari rambut ibunya. Ibunya pun mengelus-elus rambut anak gadisnya yang sudah lama tidak berjumpa itu.
"Yee, tadi katanya kangen sama gue!" Genta protes sambil mencomot perkedel jagung di meja makan.
"Bawel! Ibu nomer satu lah!" Gita mendelik pada masnya, lalu beranjak dari pelukan ibunya, ke meja makan juga.
"Makan dulu sayang ... di kereta nggak dapet makan, 'kan?" Ibunya tersenyum sambil menyiapkan piring untuk anak-anaknya.
"Nggak Bu, 'kan mesti beli, males lah, rasanya juga awur-awuran, mending aku tahan sampe rumah, hehe." Gita meringis. Ia pun mulai meneliti berbagai lauk pauk di meja, yang jelas menggugah seleranya, ditambah lagi perutnya memang sudah minta diberi asupan.
"Ya udah makan sepuasnya! Ibu masakin banyak, habisin ya!" Ibunya menyodorkan sepiring penuh nasi hangat, lantas Gita dengan semangat mencomot perkedel, lalu menyendokkan soto ayam banyak-banyak ke piringnya. Gadis itu pun makan dengan lahapnya.
"Wow, santai Dek! Bukan lagi balapan kok ini, haha!" Genta tergelak melihat adiknya yang makan begitu cepatnya.
Gita yang duduk di sampingnya pun otomatis mendorong lengan kakaknya. "Bawel!"
"Biarin toh Mas, jangan digangguin adeknya lagi makan juga!" Ibu menegur Genta.
"Bu, tahu 'kan, makan cepet-cepet itu nggak baik buat esofagus, apalagi kalau panas! Makanan itu harus dikunyah 32 kali sebelum ditelan ..." Genta mulai ceramah.
Gita menelan kunyahannya, sambil geleng-geleng. "Iyaa, pak dokter! Bawel banget Masya Allah!" Lalu memelankan makannya. Toh dia bukan makhluk hobo yang kalau makan tanpa etika, mungkin hanya euforia sesaat karena kangen masakan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say My Name
Romance| Romance Comedy | Part of College Comedy Series | Gempita Maharani tidak pernah mengira bangun kesiangan akan mengubah seluruh rencananya. Kejadian konyol soal salah ambil makalah di tempat fotokopi, mengakibatkan ia harus mencari seseorang ke faku...