4

36K 5.1K 332
                                    

Raja dan Joseph mencintai wanita yang sama. Dua sahabat satu hati. Tipikal cinta rumit berumus yang tidak jelas arah tujuan serta, yang paling menakutkan, pihak yang tersakiti. Di kehidupan sebelumnya, aku tidak memiliki pengalaman khusus dalam mencintai maupun dicintai. Lalu, di kehidupan keduaku mungkin aku juga tidak sempat, atau bahkan tidak akan, mencintai lelaki mana pun. Lebih baik melajang dan punya uang banyak daripada merasakan sakit hati ditinggal pujaan. Terima kasih. Aku bahkan bisa menulis lirik berjudul “Wanita Lajang” versiku.

Siapa butuh cinta bila kau memiliki segudang emas?
Siapa butuh kekasih kalau seekor kucing cukup menemanimu?
Selamat tinggal nestapa.

Belajar dari Alina: Kau tidak bisa memaksa seseorang bertahan bila ia tidak ingin membalas perasaanmu. Aku cemas menghadapi masa depan. Tidak yakin ada lelaki yang menginginkanku. Benar-benar menginginkanku. Pasti semua anak perempuan pernah bermimpi menghabiskan waktu bersama kekasih. Tetapi, tidak semua perempuan beruntung. Ibuku (tentu saja bukan Inocia, melainkan ibu di kehidupan lalu) menikah lantaran menurutnya hal itulah yang harus ia lakukan. Bukan karena cinta. Bukan karena ia ingin merasakan debar asmara. Bukan pula karena ingin membagi separuh hatinya. Dia menikah karena menurutnya hal tersebut wajar. Tidak ada yang istimewa. Bahkan saat memilih suami pun dia tampaknya tidak mempertimbangkan cinta.

Oleh karena itu, aku tidak ingin menjalani kehidupan serupa. Hatiku jangan sampai terluka. Aku takkan sanggup menerima rasa sakitnya.

“Alina, maukah kau menjadi menantuku?”

Pertanyaan Raja menghamburkan lamunan mengenai rencana-masa-depan-indah dan mengenang-masa-lalu-suram. Pengawal tidak memperlihatkan respons apa pun selain diam menunggu perintah, namun saat kulirik Caius, bocah itu tersipu (atau mungkin marah hingga wajahnya terbakar emosi. Aku tidak yakin. Lagi pula, aku tidak ingin mencari tahu lebih jauh).

“Yang Mulia, gurauan Anda teramat berat.” Mungkin maksud Joseph: Gurauan Anda sangat tidak berguna dan tidak kompeten. Sana pergi. Urusi negara, pajak, dan kemiskinan.

Sebagai pejuang kehidupan, aku pun memasang senyum cemerlang. “Aku ingin menikahi Nox.” Mana mungkin kujawab, “Aku ingin melajang tanpa suami, menumpuk harta seperti naga rakus, kemudian menginvestasikannya ke bisnis.” Tidak bisa, kawan-kawan. Nox pasti tidak keberatan kugunakan sebagai kambing hitam. Kami, kan, sahabat. Sudah sepantasnya sahabat saling menolong dalam suka maupun duka (terutama duka. Catat, duka).

“Nox? Siapa dia?”

Kekecewaan tergurat jelas di wajah Raja, namun ia masih sanggup menampilkan keceriaan di hadapan anak kecil. Iya, anak kecil yang kumaksud itu tidak lain diriku sendiri. (Haha, aku anak kecil tukang ngibul.)

“Dia salah satu teman bermain putriku,” Joseph menjawab. “Sekarang dia berada di bawah tanggung jawab Penyihir Rugal.”

Raja termenung sejenak, ia membelai kepalaku. “Alina, apa kauyakin ingin menikahi penyihir?”

Pertanyaan macam itu? Halo, Tuan. Aku anak-anak yang seharusnya makan permen dan memikirkan pohon mana yang ingin kupanjat. “Nox baik!”

“Caius lebih tampan daripada Nox,” Raja bersikeras mempromosikan putranya. “Nanti kau bisa jadi permaisuri. Tidakkah itu menyenangkan, bukan?”

Dia bahkan belum pernah bertemu Nox, tetapi menyimpulkan ketampanan seseorang. Setidaknya Nox dan aku tidak memiliki kepentingan apa pun, sementara Caius jelas berhak menentukan calon pengantin impiannya dan bukannya menuruti keinginan ayah yang tidak bertanggung jawab. Hei Raja, engkau sungguh terlalu. Sungguh pun menjadi permaisuri itu tidak ada bagus-bagusnya. Aku tidak suka mengatur pemerintahan, mengimbangi kepemimpinan Caius, dan tersenyum manis bagi rakyatku. Oh tidak, itu semua hanya bisa dilakukan Yuna, bukan Alina, bahkan Alina versi 0.4 ini. Pantatku pasti melepuh karena terlalu lama duduk menghadapi audensi sekian bangsawan. Kecantikan paripurnaku bisa luntur saat terbentur masalah pajak. Tolong berikan tugas kenegaraan budiman itu kepada Yuna. Dia pantas merasakan nikmatnya pemerintahan.

“Nox baik. Nox baik. Nox baik.”

Pernyataan itu aku utarakan berkali-kali hingga Raja tidak akan mengatakan pembelaan apa pun atas nama Caius. Enak saja dia memintaku jadi menantu hanya untuk menutupi patah hati lantaran tidak bisa mempersunting Inocia. Aku menolak. Cinta tidak boleh dipaksakan. Raja, kau bahkan tidak bisa menjamin Caius tidak berencana meracuniku. Bisa saja Caius dendam dan memutuskan membunuhku lebih awal.

“Joseph, tolong bujuk Alina.”

“Yang Mulia, saatnya kami pamit.” Joseph meraih dan menggendongku, sengaja mengabaikan permintaan Raja. “Inocia pasti cemas.”

Rasakan itu. Raja, dengarkan kata ayahku. Kami tidak bisa disuap.

Raja bangkit, menatap melas ke arahku. “Joseph, tidakkah kita bisa berbesan?”

Ayah, jangan mau. Tolong abaikan takhta dan nama besar. Aku jauh lebih penting daripada emas dan permata. Putrimu ini bisa jadi konglomerat terkaya se-Arcadion.

“Yang Mulia, tolong pertimbangkan perasaan putramu. Dia berhak memilih pasangan hidup yang dikehendaki hatinya.”

Di luar dugaan, Raja tertawa—tidak tersinggung. “Pantas saja Inocia memilihmu,” katanya, senang. “Tapi, aku pastikan tidak ada pria sebaik putraku di sepenjuru Arcadion.”

Raja narsis! Aku sumpahi Caius menikahi Yuna.

Joseph mohon diri kemudian berjalan meninggalkan Raja. Melalui pundak Joseph, aku menatap Caius yang masih hening, tidak menunjukan ekspresi apa pun. Lantaran simpati sekaligus ungkapan tak enak hati, kulambaikan tangan kepadanya dan tersenyum.

Hanya sesaat. Sesaat, namun cukup jelas bagiku melihat senyum milik Caius.

Semoga itu senyum pertanda awal bagus bagi kami berdua.

***

Surat pertama dari Nox datang di pertengahan musim dingin. Pemandangan didominasi warna putih dan hitam. Pohon apel kesayanganku pun kini tinggal batang dan ranting. Setiap kali aku berjalan-jalan bersama Emily, kami menyempatkan diri bermain; aku bisa membuat kelinci salju sebanyak mungkin (omong-omong aku pun sempat terserang deman).

Selembar surat berwarna merah muda. Warna yang tidak cocok untuk anak cowok. Nox menanyakan kabarku. Tidak banyak hal yang ia jelaskan terkait perkembangan pembelajarannya. Mungkin Penyihir Rugal melarang Nox menulis segala perkara terkait sihir. Tidak masalah. Aku tidak tertarik karena di novel sudah dijelaskan semua rahasia itu. Hohoho, Penyihir Rugal tidak mengenal keahlian pembaca sepertiku.

Surat balasan yang kutulis pun biasa saja. Tidak ada hal khusus kecuali cerita mengenai pertemuanku dengan Caius. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian lamaran mendadak. Dari awal aku sudah memutuskan untuk menjauhi masalah. Nox dan Caius ditakdirkan memperebutkan cinta Yuna. Aku, si mantan antagonis, tidak boleh mengharapkan apa pun.

Lucunya, surat balasan Nox datang dua minggu kemudian. Dia bahkan menyertakan hadiah kecil: Setangkai bunga liar yang sudah dikeringkan. Surat kedua pun tidak ada istimewanya. Aku sempat waswas, mengira ia akan mengirimiku kutukan. Katanya dia merindukanku dan bermaksud berkunjung bila ada kesempatan. Ia bahkan berjanji akan datang saat pesta debutku (anak gadis mengadakan debut saat usia mereka menginjak enam belas tahun. Usia dewasa bagi penduduk Arcadion. Akan ada pesta, dansa, undangan, dan mungkin lamaran yang akan kutolak. Oke, aku tidak serius. Tidak ada lelaki yang tertarik kepadaku. Aku hanyalah butiran debu. Wusssss).

Sayangnya acara debutku mungkin kalah meriah dari debut Yuna. Dia. Aku. Kami akan segera bertemu (mungkin). Itu pun kalau aku mau menghadiri acara tersebut.

***

Diterbitkan pada 21 November 2019.

***

Hai teman-teman. Saya ucapkan terima kasih telah berkunjung ke tulisan saya yang sangat halu ini. #Gampar. Huhuhu, saya senang. Sangat senang ada yang mau nemenin saya halu. Pokoknya kalian terbaik dan luar biasa. I love youuuuuu all. Kiss. Kiss. Kiss. Hug.

:”) Dunia nyata terlampau berat dan penuh derita. Seenggaknya pas saya ngehalu, stres sedikit berkurang (hmm, enggak deh. Stresnya masih ada. Malah makin banyak. Wkwkwkwk). :”) Pas nulis Crimsom Rose, terus teman-teman komen dan nyemangatin itu rasanya nggak bisa dijelaskan. Bikin hati damai dan merasa “wah, saya merasa bahagia”. Pokoknya sekali lagi saya ucapkan terima kasih.

Salam hangat,

G.C

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang