25

9.2K 1.4K 42
                                    


Inginku perjalanan pulang romantis ala putri dan penyihir. Bunga-bunga bermekaran, gemintang terpeta di angkasa, dan semilir angin beraroma mawar. Ulala, sempurna. Namun, segala yang kuinginkan tinggal rencana-usai-tidak-terealisasi. Revisi. Aku bukan putri raja. (Jelas.) Tidak ada hubungan khusus model romansa antara aku dan Nox. (Ya sudahlah. Kami berdua mungkin ditakdirkan menjalani status pertemanan tanpa bumbu tambahan. Persis mi instan tanpa bumbu msg. Hambar.) Lalu, yang terpenting, responsku yang tidak imut! Tahu, 'kan? Semua cowok suka cewek manis. Aku?

Jadi, begini....

Nox menciptakan portal-entah-pintu-ajaib-ke-mana-saja-atau-apalah-namanya (iya, aku tahu kok kalian sudah membaca bab sebelumnya dan mengerti, tapi aku ingin menjelaskan secara detail dan terperinci. Oke? Nah, akan kulanjutkan), kemudian dia menarikku (atau mungkin mencengkeramku? Memelukku? Oh, ya tidak mungkin aku ingat seindah itu), masuk ke dalam amukan sulur-tanaman-monster-tidak-imut. Reaksi normal: Aku berteriak, mencengkeram Nox seolah dia pelampung penyelamat-satu-satunya bahtera yang ada di samudra antah-berantah-dan tambahkan mulutku yang komat-kamit mirip ikan yang tergelepar di talenan; mencoba menyelamatkan diri dari rajangan ibu-ibu agar tidak dijadikan menu makan malam; lalu suaraku yang sumbangnya bukan main.

Oh, YA! Aku yakin, sangat yakin, dan teramat yakin bahwa kadar ketertarikan Nox kepadaku menurun drastis.

Ingin tahu pemandangan sepanjang portal-entah-apa-namanya-itu?

Maaf, fokusku kacau balau. Tidak ada yang kuperhatikan selain keselamatanku.

"Hei, Nona...."

"Maafkan aku. Tidak ada niat buruk apa pun. Tolong biarkan aku hidup."

"Niat buruk?"

Aku mengangguk, mata masih terpejam. (Aku tidak ingin melihat penjaga dunia kematian. Oke, silakan cela aku. Sebut aku pengecut, tidak tahu malu, terserah.) Mungkin aku mati (keduakalinya) lantaran terjatuh dari jasa-antar-Nox. Nah, sekarang pasti aku berada di alam kematian. (Tolong biarkan aku hidup sebagai rakyat jelata yang tidak memiliki utang. Ternyata hidup sebagai bangsawan tidak ada asyiknya.)

"Kau tidak akan bisa melihat hal-hal indah saat matamu terpejam, Nona Alina."

Sebentar!

Bisa kurasakan belaian hangat mendarat di puncak kepalaku dan bila dipikir secara cermat, ternyata....

Perlahan kubuka mata, menatap langsung ke wajah rupawan yang kini menampilkan senyum cemerlang.

Hahaha. Ternyata Nox.

Nox?

"Sekarang kita sampai di kamarmu."

Kuedarkan pandangan, kamar, perabot, dinding; segala yang kukenal terpatri di otak. Aku tidak berada di alam kematian. Sebaliknya, aku aman bersama seseorang yang berbau seperti daun mint. Tangannya yang kuat bahuku, tatapannya yang lembut jatuh ke dalam mataku, dan kurasakan dunia menjelma taman surga. Hanya ada kami berdua. Aku dan Nox.

"Tadi," kataku berusaha menjelaskan, "kukira aku pindah ke alam lain. Kau mengerti, 'kan? Alam hitam tempat jiwa-jiwa terkutuk beristirahat?"

"Mana mungkin aku membiarkanmu mati."

Tidak ada nada jenaka dalam suaranya, Nox-di luar dugaan-ternyata tidak menyukai ocehanku mengenai kematian. Mungkin yang pernah tersentuh kematian bukan hanya aku, melainkan ia. Bocah yang selama ini kupikir hidup dalam dunia aman, dalam lingkungan yang tidak mengenal kekerasan dan buruknya orangtua yang tidak mengharapkan kehadiran anak, pun memperlihatkan sisi lain. Aku tidak mengharapkan apa pun dalam kehidupan baruku selain kedamaian. Tidak berani berandai memiliki kehidupan yang tidak diperuntukkan bagiku. Dulu, di kehidupan awal, aku iri terhadap kebahagiaan orang lain. Adapun yang membedakan diriku dan Alina ialah, jenis kecumburuan. Dia menginginkan cinta lelaki yang tidak mau membalas perasaannya, sementara aku mengharapkan kesempatan di kelas sosial; bekerja sesuai hasrat, makan makanan yang diinginkan, dan belajar ilmu apa pun tanpa perlu mempertimbangkan biaya. Sayangnya hal tersebut, yang kuinginkan, hanya bisa didapatkan sebagaian manusia.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang