39

5.8K 906 39
                                    

Dari sekian hal yang bisa diutarakan olehku, hanya satu kata, "Kenapa?"

"Baginda dilanda kegilaan."

Caius berubah?

"Aku bersumpah demi jantungku," Nox menguatkan peringatan akan datangnya bahaya. "Ikutlah denganku."

Amis darah. Pertama kali aku mencium anyir darah manusia, di kehidupan kedua, ialah saat berjumpa Penyihir Rugal. Hanya ia seorang yang pantas disebut sebagai kegilaan, bukan Caius. Sejauh ini Caius tidak pernah terlihat semengerikan penggambaran Nox. Dengan kuasa yang Caius miliki, ia tidak perlu menunggu persetujuanku bila ingin menikahiku. Dia hanya perlu mengeluarkan perintah. Satu komando dan segalanya terselesaikan.

"Nox, aku tidak mengerti."

"Tidak ada waktu untuk keraguan," Nox mendesak.

Tubuh Nox tercium seperti kekacauan, bila kekacauan memiliki aroma.

"Orangtuaku?"

Nox meraih tanganku, menggenggam. "Aku tidak bisa melindungi semua orang," katanya, pahit. "Hanya dirimu seorang."

"Tidak bisa." Aku menggeleng. Hanya orang jahat yang rela meninggalkan keluarga. Joseph dan Inocia, lalu Emily. Aku tidak mungkin mengabaikan mereka. Meskipun aku tidak paham masalah yang mengancam Nox, tapi ikut dan meninggalkan keluargaku jelas bukan tindakan beradab. "Ada apa, Nox? Mengapa kau nekat pergi dari Arcadion?"

Tangan Nox berpindah ke bahuku, tekanannya terasa menusuk hingga aku berjengit menahan sakit.

"Aku tidak bisa menjelaskannya ... kumohon, mengertilah."

Kedua mata yang dulu meneduhkanku, kini terasa memedihkan. Amarah, dendam, kecewa-semuanya membaur dalam kekalutan. "Gurumu. Dia pasti tidak menyukai keputusanmu."

Keheningan pun melanda. Tiba-tiba bibir Nox terkatup rapat-membungkam seluruh kata dalam segumpal kegetiran.

"Pergilah," kataku.

Sesaat mulut Nox membuka, terdengar embusan napas teramat lirih.

"Aku tidak akan menahanmu, Nox. Pergilah."

"Baginda pasti akan mencarimu-"

Tentu saja aku ingin hidup. Demi apa pun. Aku ingin hidup. Entah tangan jahat ataupun iblis pendengki yang kini mengincarku, aku tidak mengerti. Setelah sejauh ini aku bertahan hidup. Setelah segala hal yang kulakukan demi mengubah jalan cerita Alina. Tiba-tiba saja segalanya terasa tidak masuk akal.

Jantung berdentum, setiap degup terasa menyakitkan, seakan rongga dada akan meledak dan menghancurkan tubuh hingga inti terdalam zat pembentuk diriku. Rasa panas menyengat mata, tanpa bisa kutahan emosi pun meluruh dan membasahi wajah dengan sensasi menyakitkan. Keputusasaan begitu menekan hingga kata-kata yang ingin kuutarakan pun hancur. Bibir bergetar dan udara seperti tertahan di tenggorokkan ... membuatku tercekik.

"Ikutlah denganku," Nox memohon, kedua tangannya menarikku dalam pelukan. Mari kita tinggalkan Arcadion."

"Nox, maafkan aku. Orangtuaku ... mereka tidak ... aku tidak bisa."

Susah payah kudorong rasa takut akan kematian dan ketidakpastian. Entah setan apa yang menjelma dalam diri Caius, aku tidak bisa melarikan diri. "Atau kau bisa pergi terlebih dahulu," kataku menyarankan. "Setelah keluargaku setuju meninggalkan Arcadion, maka aku pasti menyusulmu. Kita bisa bertukar pesan rahasia."

Ibu jari Nox menyapu air mata di wajahku. "Bergegaslah."

Aku mengangguk. "Berhati-hatilah."

Senyum pahit terpeta di bibir Nox. "Kita akan segera bersama."

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang