Nox.
Aku ingin memanggil.
Dia berada begitu dekat. Terpisah beberapa langkah. Jarak bukan lagi kendala di antara kami. Tinggal kurentangkan tangan maka kerinduan dalam diriku akan terbayar. Ingin bertanya, "Apakah kau merasa apa yang kurasakan?" Namun, kata-kata membeku dalam bibir-tidak terucap, tenggelam bersama penyesalan. Andai kami terlahir di zaman berbeda ... atau apabila kami ada di duniaku berasal, mungkin tidak perlu ada sekat pembatas di antara rindu dan sayang. Aku bisa jujur pada perasaan, sementara dia bisa menjadi apa pun yang ia mimpikan. Kami tidak perlu bersembunyi karena cinta merupakan pelindung sekaligus penyembuh. Akan kusembuhkan setiap luka dalam diri Nox. Dia tidak perlu takut ditinggalkan. Tidak seperti masa kanak-kanak miliknya yang kelam. Mungkin aku bisa bermimpi hal indah semacam itu.
Ironis.
Dulu mendekati Nox karena kupikir itu cara teraman bertahan hidup. Bersamanya. Bersama Nox. Tidak terhitung hari dan malam yang kami habiskan di masa kanak-kanak. Berpikir segalanya dalam bahasa murni; tidak ada kepentingan, saling bergandeng tangan sambil berceloteh, dan menikmati pergantian musim. Aku rela memberikan apa pun asal bisa kembali ke waktu itu. Bersama Nox.
Akan tetapi, Nox dan aku berdiri di sisi berbeda. Aku bersama rahasiaku dan dia dengan kehidupannya. Meskipun ia berjanji akan kembali, tapi aku tidak bisa berpegang pada ketidakpastian. Tidak perlu ada pengorbanan, asal kami-aku dan Nox-bisa saling membuka hati, mungkin tidak perlu ada sakit hati. Bahkan meski Caius mengancam, aku akan tetap memilih setia kepada hatiku. Hidup kedua ini takkan kupersembahkan pada penyesalan.
"Apa kau tidak bisa menunggu?"
Suara Caius menjadi tamparan yang menyadarkanku dari kelinglungan.
Miris.
Nox begitu dekat, sekaligus jauh. Kami bersama, tetapi terpisah. Aku ingin mendekat, merasakan ujung jemari menyentuh Nox. Namun, tubuh memilih terpaku.
Lihat aku, Nox. Kita memiliki pilihan. Takdir milik kita sendiri.
"Kami terlalu lama menunggu," Nox menjelaskan. "Seharusnya keputusan harus segera dibuat."
Aku tidak bisa membaca suasana hati Nox. Sedari dulu perasaan Nox hanya miliknya sendiri. Ia tidak pernah, atau tidak bersedia, membagi kepingan emosi kepada siapa pun. Ingin mendekat dan memohon kepadanya supaya membawaku pergi sejauh mungkin dari istana. Tapi, bibir terkatup rapat, mengunci seluruh kata dalam keheningan.
"Keputusanku?" Caius bahkan tidak segan menunjukkan ketidaknyaman-tetap duduk, tidak menyambut. "Atau kepentingan kalian, Penyihir?"
"Ada baiknya Baginda mendengarkan," Nox menyuarakan pendapat. "Guruku tidak suka dibantah."
Hanya ada satu lelaki yang berani menentang raja, yakni Rugal. Kesintingan sang penyihir tampaknya di atas ambang normal. Lagi pula, tidak ada kata wajar dalam kamus Rugal. Dia bertindak sesuai keinginan. Tidak ada rantai yang bisa membelenggu kehendak bebas sang penyihir.
"Aku selalu berusaha mendengarkan nasihat gurumu."
"Dia tidak suka disepelekan, Baginda."
Pada akhirnya Caius tidak bisa memilih dirinya sendiri. "Tolong antarkan Nona Alina," katanya kepada pelayan. "Dan kau, Penyihir, sebaiknya tidak mengecewakanku."
Mengecewakan. Mungkin Caius bermaksud memperingatkan agar tidak mendekatiku, setidaknya, untuk saat ini.
Hanya beberapa detik Nox sempat menatapku.
Alina....
Meski tidak bisa bersama, setidaknya aku bisa melihatmu aman.
Itu saja cukup bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...