28

8.1K 1.2K 28
                                    

Tidak ada jaminan Caius sanggup melindungiku dari mereka yang mengharapkan takhta. Ibarat api membakar sumbu, tinggal menunggu peledak tersulut dan BOOM-lenyap. Pada akhir cerita tragis nanti, tidak ada apa pun tersisa bagiku. Bila memilih Caius, maka nasibku tidak ada bedanya dengan milik Alina: Mati. Dia mati karena cinta buta, sementara aku mati karena pengikut Caius.

Seseorang pernah berkata kepadaku, "Berhati-hatilah dalam memilih jalan." Setiap opsi diikuti konsekuensi. Baik, buruk. Keduanya tidak terpisahkan, melekat bagai takdir kembar sang durjana.

Tindakan yang kulakukan terhadap Caius terbilang sembrono. Bisa saja dia naik pitam, menganggapku tidak sopan dan menghina keluarga kerajaan, lalu hukuman pun dijatuhkan. Namun, keberuntungan masih berpihak kepadaku. Saatu-satunya yang menghantamku hanyalah rasa bersalah. Sesal karena mengucapkan kata-kata jahat. Sesal karena tidak bisa memilih penolakan yang tidak menyakitkan. Sesal karena tidak ada pilihan selain menjadi buruk. Aku harap dia mengerti, paham, dan tidak memaksakan kehendak apalagi cinta. Bukan seperti ini cara mencintai. Kita tidak bisa mengutarakan perasaan dan berharap balasan. Tidak. Cinta seperti seni. Penari membutuhkan musik saat mengiringi gerakannya, begitupula hati ... bisa saja aku berbohong, berpura-pura memiliki rasa yang sama, tapi hal semacam itu hanya menunda rasa sakit.

Sepanjang hari aku memikirkan bermacam hal yang telah kulewati sejauh ini. Usaha mendekati Nox, perjuangan mengabaikan Caius, dan akhir cerita yang tidak kuinginkan. Akankah semuanya terbuang percuma?

Adapun satu-satunya yang Caius cintai dariku hanyalah "Alina" bukan aku. Bila ia bisa melihat menembus ke dalam inti jiwaku, maka niscaya tidak mungkin kata cinta terucap begitu mudah. Diriku yang sejati amatlah buruk. Tidak elok. Seperti makhluk jelek yang berasal dari tanah kegelapan. Makhluk terkutuk yang terbungkus kulit rupawan seorang Alina. Segala masa lalu milikku rasanya masam. Aku berasal dari dunia yang menilai rupa daripada sifat. Sekeras apa pun usahaku mengemis belas kasih pun tidak berarti. Mereka, para manusia dari asalku, berwujud indah tapi bila kalian melihat jauh ke dalam-menembus seluruh selubung fana-terlihatlah anjing-anjing ceking bertaring yang gemar menyantap daging sesamanya. Saling bunuh. Saling serang. Tidak ada kebaikan. Hanya kejahatan. Tempatku berasal begitu kerontang sekaligus hampa.

Akan tetapi, terkadang ada hal baik mekar di tanah terkutuk. Sebagai manusia melankonis, segalanya terasa menyedihkan dan cantik. Menyedihkan karena bukan aku yang menjadi objek kebahagiaan.

Bukan aku yang menjadi objek kebahagiaan....

***

Cara terbaik melarikan diri dari kenyataan: Bekerja.

Sibukkan diri dengan bermacam agenda kerja maka kau akan lupa bahwa dirimu tengah bermasalah. Tidak ada cara mudah. Ya, benar sekali. Tidak ada cara mudah dan solusi bagi orang yang berani mencela keturunan ningrat. Oh betapa aku ingin mengubah Caius menjadi kodok. Kodok sungguhan! Mungkin dia bisa kulempar ke sumur di tengah hutan, yang tidak ditempati makhluk apa pun bahkan seekor gergasi, lalu semua orang lupa bahwa mereka pernah memiliki pangeran bernama Caius. Beres.

Akan tetapi, realitas benar-benar sejahat penyihir buluk. Walaupun aku bisa bersikap jujur dan menolak tawaran Caius, tapi itu lantas tidak membuatnya kapok dan berpikir waras. Setiap satu minggu sekali, ia mengirim surat dan sebuket mawar merah. Tidak satu pun surat-surat tersebut berani kubaca. Terlalu takut menghadapi problema. Terlalu sinis berharap ada jalan keluar. Terlalu bodoh.

Aku.

Terlalu bodoh.

Kukira Caius akan mengerti, setidaknya "mungkin" dia bisa berusaha mengerti. Pernikahan bangsawan, terlebih pewaris takhta, tentu tidak boleh disepelekan. Ada aneka manusia yang berdiri di belakang Caius dan aku ragu mereka mengharapkan keikutsertaanku membangun Arcadion.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang