35

6.5K 981 17
                                    

Kukira selamanya Jenin nyaman sebagi Yuna. Padahal aku tidak peduli identitas gender tokoh yang satu ini. Terserah dia ingin diperkenalkan sebagai "lelaki" ataupun "wanita" asalkan tidak membahayakan keselamatanku. Namun, Jenin tiba dan segala prasangka buruk pun meletup dalam kepalaku. Satu, dia mengenakan busana mewah lengkap dengan cravat sutra. (Jenis pakaian yang mengingatkanku kepada aristokrat Eropa.) Rambut dikuncir ekor kuda. Kalian bahkan akan takjub melihat betapa mahal sutra yang ia gunakan sebagai pita. Dua, seminggu sebelum kedatangannya, Jenin mengirim surat pemberitahuan bahwa ia berniat berkunjung. Artinya ini pertemuan resmi. (Uhuk. Uhuk. Uhuk. Sebagai salah satu pebisnis sukses di masa depan, aku tidak boleh pilih-pilih klien. Harus prosfesional walaupun insting mengatakan sebaliknya, "Jangan terima! Lari saja! Selamatkan dirimu!" Begitulah, uang tidak pernah pilih kasih.) Tiga, Larocha. Jenin Francois Larocha! (Oke, kalian bingung. Akan kujelaskan secara singkat. Nama asli Jenin, setelah kusimpulkan, ialah Francois Larocha! Tokoh tersembunyi yang hanya sempat disinggung dalam novel sesungguhnya. Tokoh yang hidup di kerajaan seberang, Eiro. Jenin bukan nama sesungguhnya, sama seperti Yuna. Kalian mengerti? Nama palsu. Penampilan palsu. Ternyata hidup ini penuh kepalsuan.) Lantas kecurigaan mengenai alasan Jenin tiba-tiba bersedia memperkenalkan diri sebagai Francois pun tidak tertangguhkan.

Dia! Di sini! Bersamaku!

Begitu Joseph selesai membaca isi surat permintaan, aku ingin berteriak, "Ayah! Ibu! Sebaiknya kita segera mengemasi barang berharga dan lekas enyah dari Arcadion sebab aku mencium bau ketidakberesan!" Tapi yang terjadi hanyalah acara "saling lempar pandang kebingungan".

"Bagaimana bisa Tuan Larocha mengenalmu, Alina?"

Pertanyaan maut yang satu itu. Meskipun Inocia dan Joseph tidak mengucapkannya secara terang-terangan, tapi radar kewaspadaanku bisa menangkap sinyal yang dikirim mereka. Akhirnya Joseph memilih pasrah. Dia tidak bisa serta-merta menolak permintaan seseorang, apalagi orang sekelas Francois Larocha. Dulu aku sempat penasaran dengan identitas Jenin, tetapi kini aku menyesal. Sungguh ingin bersujud dan minta maaf kepada semesta, "Maafkan keingintahuanku yang kurang ajar. Tolong anggap apa yang kuinginkan dulu sebagai bahan candaan, tidak perlu dianggap serius." Hei, hei. Tentu saja permintaanku tidak dikabulkan. Jenin tetap datang dan aku tidak bisa melarikan diri.

Luar biasa. Jenin datang didampingi kesatria (bukan pengawal biasa sekelas satpam dan tolong jangan tanya berapa jumlahnya sebab aku tidak menghitung), berpakaian necis, dan sempat-sempatnya ia membawa hadiah. Dia bahkan lebih licin daripada belut. Licin!

"Oh, aku tidak tahu bahwa Nyonya Joseph sungguh cantik tiada tara."

Inocia pasti meleleh terlebih Jenin menghadiahi ibuku sejumlah mawar eksotis (hidup, lengkap dengan tanah, akar, dan pot). Kemudian bibirnya memuntahkan kata-kata semanis madu (yang kujamin memicu diabetes). Joseph? Aku ingin mengutuk informan yang memberitahu Jenin buku incaran ayahku! Bagaimana bisa dia tahu?

"Edisi langka," Jenin menegaskan, "dicetak terbatas."

Jadi begitulah asal-muasal aku dan Jenin berakhir di satu ruangan.(Ruang tamu. Perlu kujelaskan bahwa kadang kalimat bisa menimbulkan pemikiran tertentu, terlebih kalimat yang tidak disertai kata keterangan khusus. Ruangan? Ruang makan? Dapur? Nah, apa kalian mengerti? Itulah pentingnya memberikan keterangan terperinci. Terima kasih.)

"Ayolah, Alina," Jenin membujuk. Kedua matanya (bila kini kuperhatikan) mirip tatapan seekor ular. Wah, terima kasih. Sayangnya aku tidak termasuk dalam menu utama. "Bukankah kita lama tidak berjumpa?"

Meski meja memisahkan aku dan Jenin, tetapi rasanya itu masih tidak cukup. Aku butuh jarak aman. Kami berdua duduk berhadapan, seperti sepasang bidak catur.

"Oh?" responsku. Dua huruf. O dan H.

Dalam hati aku berdoa semoga dia bukan termasuk karakter sialan yang ingin mengakhiri jalan hidupku. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan; bisnis, menumpuk kekayaan, dan mengajak Nox pensiun dini. Kami akan pindah dan mengucapkan perpisahan kepada Jenin, Caius, bahkan Penyihir Rugal. Adios!

Jenin mengambil biskuit dan langsung mengunyah. "Kacang almond," katanya, "kesukaanku."

"Aku akan dengan senang hati memberimu sepeti biskuit almond."

"Dengan temperamen secantik itu," katanya memuji, "tidak akan ada menteri yang berani menyinggungmu."

Kedua alisku bertaut hingga menciptakan kerutan di dahi. "Sekali lagi kutegaskan. 'Aku tidak tertarik hidup di istana.' Titik."

"Bahkan setelah Caius menyatakan penolakan terhadap daftar calon pasangannya?"

"Bahkan setelah dia melamarmu, Yuna."

Seperti rubah. Senyum Jenin kali ini tidak terlihat menawan. Aku bahkan bisa merasakan bulu halus di leher dan lenganku meremang, waspada.

"Kelinciku yang manis, aku tidak sejinak Caius ataupun penyihir kesayanganmu."

Kedua tanganku terkepal di pangkuan. Jenin tidak main-main.

"Apa kau mau mempertimbangkan ajakanku?" Jenin bersuara, "Pergi bersamaku. Meninggalkan Arcadion."

"Bagaimana dengan orangtuaku?"

"Mereka akan berada di bawah perlindungan Larocha."

"Tapi, aku tidak bisa."

"Tidak bisa," katanya mengoreksi, "atau tidak ingin."

Kugigit bagian dalam pipi. Perih. "Tidak bisa."

"Penyihirmu bahkan tidak bisa melindungimu dari Caius."

"Memangnya apa yang akan Caius lakukan kepadaku?"

Penjara. Tapi itu hanya bisa terjadi bila aku terindikasi menjadi ancaman bagi kepemimpinan Caius. Percayalah, aku bahkan tidak tertarik pada politik maupun tatanan pemerintahan. Aku tahu kapasitasku sebagai manusia dan berpikir logis tidak termasuk.

Seorang filsuf pernah berkata bahwa orang yang bijaksana ialah orang yang tahu sejatinya dirinya tidak tahu. Masalahnya filsuf itu meskipun mengaku tidak tahu dirinya tahu sesuatu padahal sebenarnya dia orang superbijaksana dan tahu banyak hal. Aku? Aku jelas tidak tahu apa-apa. Benar-benar tidak tahu. Namun, ada hal yang mahir aku kuasai: Bertahan hidup.

Aku bersedia menjauhi Caius.

Aku bersedia menjauhi Penyihir Rugal.

Aku bersedia menjauhi Jenin.

Aku bersedia menjauhi Nox agar ia terlindungi dari kejahatan.

Apa pun akan kulakukan demi keselamatan diriku dan orang kesayanganku.

"Pergilah bersamaku," Jenin mengajak. "Aku dan dirimu."

"Aku tidak bisa."

Lagi-lagi, senyum beracun terpeta di bibir Jenin. "Kau tidak ingin terikat dengan siapa pun?"

Keringat dingin membasahi punggungku. "Kau tahu begitu banyak."

"Tidak semua."

Bibirku tidak ingin mematuhi perintahku. Bahkan tersenyum saja tak sanggup. "Apa untungnya?"

"Ya?"

"Apa untungnya mendatangiku sebagai Francois?"

"Alina, saat Caius tidak bisa mempertahankan diri. Kau akan jadi orang pertama yang diburu."

***
Selesai ditulis pada 4 Oktober 2020.

***

Terima kasih atas kesabaran dan dukungan kalian, teman-teman. Kalian memang terbaiiiiiiiiiiiiiik, baik, baik, baik, sangat baik. Hehehehe. Love you all. Oh ya, maaf babnya sedikit dan sepertinya saya mulai kena mager. Hmmm. Hujan, kan, hawanya enak gitu. Rebahan di kasur, tidur, nggak ngapa-ngapain. Huweeee, rasanya nikmat gitu! Padahal cuma rebahan doang tapi kok hmmmm.

Uhuk. Tolong mampir tengok Nox di Crimsom Rose (Lovely), ya? Terima kasih lho. Huhuhuhu. Di sana akan saya tuliskan, bila nggak mager, printilan yang nggak saya ceritakan di sini. Huhuhu, tolong doakan saya nggak mager. Hmm. Mager.

Oh ya, tolong jaga kesehatan. Hati-hati. Jangan lupa pakai masker, cuci tangan, makan buah, pokoknya jangan sampai banyak pikiran.

I love youuu all!

Terima kasih.

Salam hangat,

G.C

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang