Alkisah seorang penyihir jatuh hati kepada anak manusia. Namun, sebagai makhluk yang ditakdirkan menyendiri, maka ia pun mengurungkan niatan mempersunting pujaan hati. Hari demi hari, musim berganti musim baru, penyihir itu tidak bisa melupakan cintanya terhadap anak manusia. Dia menginginkan kehadiran gadis itu dalam kehidupannya. Sudah tidak terbilang malam-malam ia habiskan dalam perenungan serta rasa merana yang luar biasa.
Oleh karena itu, dia pun berpikir cara menyembuhkan hatinya dari rasa nelangsa.
Sayangnya cinta bukanlah penyakit yang gampang diobati. Si penyihir tidak memahami bahwa dalam mencintai haruslah ada keterbukaan dan penerimaan. Dia hanya mampu melihat gadis pujaannya dari jauh; tidak berani mendekat, diam-diam menyelipkan sekuntum mawar di antara lembaran kertas, dan mencoba menebak mimpi-mimpi manis yang mampir dalam tidur sang kekasih. Dia mencintai dengan cara yang teramat menyakitkan hingga Bulan pun iba.
"Katakan kepadaku apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"
Penyihir pun berkata, "Wahai Bulan yang agung, dapatkah engkau menyembuhkan sakit di hatiku?"
"Aku tidak bisa menghilangkan perasaan dalam dirimu."
"Maka aku tidak menginginkan apa pun. Apa artinya jantung yang berdetak bila hatiku tiap malam didera pedih? Aku tidak membutuhkan kesaktian. Tidak pula kekuasaan. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah gadis berambut merah."
"Saat purnama tiba, utarakan cintamu kepadanya."
Maka penyihir itu pun mematuhi nasihat Bulan. Diutarakannya cinta kepada si gadis. Saat cahaya purnama menyentuh bumi dan melahirkan ribuan kunang-kunang, gadis itu pun membalas perasaan si penyihir.
Keduanya hidup bersama dalam mahligai kasih. Hati si penyihir tersembuhkan oleh cinta si gadis. Tidak ada nestapa, hanya bahagia.
Akan tetapi, saat melahirkan anak pertama-bayi yang begitu didambakan keduanya-si gadis mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Bayi dalam buaian si penyihir terus menangis, memanggil ibu yang tidak akan pernah mendekapnya.
Sekali lagi penderitaan mendera si penyihir.
Si penyihir murka. Darah mendidih oleh ketidakpuasaan dalam menerima hidup. Ia salahkan Bulan atas saran yang berujung petaka. Si penyihir mengabaikan si bayi dan membuangnya jauh ke dalam hutan-tempat monster bertaring tinggal dan ular-ular mendecihkan bisa.
Kesedihan berhasil menelan si penyihir dalam kehampaan. Dia tidak lagi mengingat nama kekasih dan anak yang tidak bernama. Dia musnah dalam kegelapan.
Bulan yang menyaksikan pun memutuskan mengubah wujud si gadis menjadi sekuntum mawar yang takkan layu di musim apa pun, sementara bayi tidak bernama itu dibiarkan menjelma sebagai pohon apel yang buahnya bisa menyembuhkan penyakit apa pun.
Lalu, dari sisa tubuh si penyihir lahirlah makhluk-makhluk buruk rupa. Mereka memiliki kuku setajam belati dan taring yang meneteskan racun. Tiap malam makhluk-makhluk tersebut merayap ke pemukiman manusia. Haus akan pembalasan dendam ... menyebarkan penyakit dan derita.
***
Fajar merekah, merah, seperti amarah. Asap membumbung tinggi ke angkasa-hitam seperti ular beracun. Langit mungkin tengah mempertontonkan jiwa-jiwa malang yang tidak sempat mengucap salam perpisahan. Segalanya kacau, tak teratur, dan menyedihkan. Tubuhku terasa sakit. Masih saja tergugu, duduk dalam kebungkaman. Mata tak bisa terpejam. Semalaman terjaga menyaksikan bala angkara menuntaskan dendam. Bahkan sampai detik ini aroma anyir darah dan daging terpanggang tak jua lenyap ... menghantuiku.
Hangat mentari menjalari kulitku. Kain di lenganku telah koyak-moyak, pedih menyebar saat luka-luka bak kawah mungil. Entah siapa gerangan yang menarikku dari kegelapan-dalamnya teror yang menenggelamkanku-dan menggiringku berkumpul dengan korban lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasiMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...