"Apa yang kausembunyikan dariku?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja; meluncur, bebas tanpa bisa kuhalangi lajunya, dan mendadak dorongan mengetahui kebenaran jauh lebih besar daripada rasa takut.
"Kenapa ada rahasia di antara kita?" Wangi bunga memudar, aku takmampu mengendus harum yang dahulu menenangkanku. Kecemasan menggelayut seperti cakar iblis. Jemari Nox terasa dingin saat aku menggenggamnya. Entah suhu udara yang kian mendingin atau kehangatan mulai meninggalkan kami-aku tidak tahu. "Nox, ada apa?"
Kumohon. Nox, katakan yang sebenarnya.
Hanya aku yang bertanya. Aku seorang. Nox berada di hadapanku, tetapi benaknya ada di tempat lain. Separuh bagian dairinya berada jauh dari jangkauanku. Aku tidak ingin kehilangan Nox. Tidak, bukan seperti ini perpisahan yang kuinginkan.
Terlalu sedih.
Terlalu suram.
Nox yang baik. Nox yang menyimpan seluruh rahasia. Nox yang tidak ingin membagi apa pun kepada orang lain. Sekian banyak Nox yang kukenal melalui novel dan, mengejutkannya, aku tidak sanggup membayangkan dia sebagai pribadi jahat. Nox tetaplah Nox. Sampai kapan pun aku yakin dia tidak seperti yang Caius maupun Jenin gambarkan. Nox tidak terikat kepentingan, tidak seperti Caius; yang mengharuskan mematuhi perjanjian tak tertulis lantaran jabatan yang diembannya. Mereka tidak mengenal Nox sebaik diriku. Bocah penyendiri itu bersedia memasukkan aku ke dalam kehidupannya. Sedikit demi sedikit, kemudian kami mulai belajar saling mengenal dan memahami.
"Peri Mawarku...." Nox meraih bunga dalam tanganku, memandangnya seakan tanaman tersebut bisa memberikan jawaban yang kuinginkan. Namun, hanya keheningan yang mengisi jeda di antara kami.
"Nox, aku bisa berusaha membantumu," kataku menyemangati. Barulah kusadari jubah Nox tampak ... berantakan. Di beberapa bagian terdapat sobekan seakan ia bertarung dengan hewan buas. Ada beberapa daun yang menempel di siku dan kerah. Aku memberanikan diri mengambil daun di kerah Nox dan ia mencengkeram pergelangan tanganku-menghentikan ujung jemariku menyentuhnya.
"Siapa yang akan kaupilih?" tanyanya kepadaku. "Aku atau dunia?"
Tawa canggung keluar dari bibirku. Tidak benar-benar ampuh mengusir kegusaran yang kurasakan sebab sepasang mata lavendel itu terus mengamatiku.
"Nox, itu pilihan sulit," ucapku menjelaskan, "di ujung sana kau menungguku sementara di sisi lain aku harus bertanggung jawab terhadap pilihan yang kuambil. Andaipun hatiku memilihmu, tetapi aku tidak bisa mengabaikan orangtuaku. Hal ini pun berlaku padamu. Kau bisa memilihku. Namun, itu tidak membenarkan tindakanmu bila menyangkut kepentingan bersama. Ibaratkan saja aku penjahat yang ingin menghancurkan dunia. Apa kau akan membiarkanku membunuh seluruh umat manusia asal bisa bersamaku?"
Keheningan melanda.
Kami berdua saling tatap.
Tanpa kata.
Tanpa bahasa.
"Aku tidak yakin kau ingin menghancurkan dunia."
"Ya," kataku menyetujui. "Aku tidak ingin menghancurkan dunia tempatmu berada. Bukan seperti itu, Nox? Kau akan menjagaku, sama seperti aku melindungimu?"
Oke, aku melantur.
Tidak. Aku tidak bisa melindungi Nox. Satu-satunya keahlian yang kumiliki hanyalah di bidang perniagaan. Hei, uang menguasai segalanya. Asal kau memiliki uang maka niscaya setengah masalah hidupmu terselesaikan.
"Tidurlah, kau butuh istirahat."
Ada apa denganmu, wahai penyihir ganteng? Tidakkah kau ingin menghabiskan waktu bersamaku? "Nox, aku bertemu gurumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...