Aku mulai berpikir bahwa jalan yang kutempuh tampaknya salah. Variabel minor yang tidak kupertimbangkan; identitas Yuna, kedekatan Nox dan Alina (karakter sesungguhnya dalam Crimsom Rose), bahkan ketertarikan Caius. Seharusnya aku tidak gegabah. (Mengerti, 'kan? Langsung bertindak tanpa memperhatikan perihal jalan cerita.) Lalu, wow selamat! Aku pantas dinobatkan sebagai putri-payah-versi-majalah-pecundang. Membaca situasi bukan termasuk kemahiranku. Kalau boleh jujur, aku payah (dua kali kusebutkan kata buruk ini. Sungguh keterlaluan). Satu-satunya yang kutakutkan saat menyadari diriku terlahir, dalam kehidupan kedua, sebagai antagonis novel picisan ialah, kematian. (Ya. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan menemui ajal, tetapi lain cerita mati konyol karena cemburu. Seburuk-buruknya mati, sekarat karena cinta bertepuk sebelah tangan amat mengenaskan. Aku tidak ingin memikul takdir demikian. Tidak, tidak, tidak, syalala tidak mau.) Lagi pula, aku tidak berniat mendekati siapa pun secara romantis. (Ah ya, terima kasih. Aku rela mengorbankan hati demi kepentingan bersama kecuali poligami. Enak saja jadi istri kedua, ketiga, dan ke-tralala. EMPAS DAN BINASAKAN SAJA RAGAKU daripada harus berbagi suami. Tidak usah. Dengar? Cari lelaki yang hanya memikirkanmu, dirimu, dan dirimu seorang. Lelaki yang tidak bisa hidup tanpamu. Jangan cari lelaki modal mulut manis kemudian berakhir tragis. Kebutuhan pertama yang harus dipenuhi dari pasangan ialah, kenyamanan. Tanpa itu katakan selamat tinggal. Sebagai perempuan kita berhak merasa aman secara finansial dan mental. Oke, maaf. Aku melantur.) Kupikir bila salah satu di antara mereka-Nox, Caius, bahkan Rugal sekalipun-jatuh cinta kepada si protagonis, yakni Yuna (yang ternyata jebakan-sialan-biadab-terkutuk-takterampuni), maka hal yang harus kulakukan ialah mendukung dan menjauh setelah keadaan aman (maksudku pergi ke suatu tempat di pinggir danau, membangun pondok menggunakan uang tabungan, dan hidup nyaman sampai tua).
Tentu saja sekoci penyelamatku hanya ada dalam angan. Pekerjaan jauh dari kata beres. Masalah datang tanpa diundang, pulang minta diantar. Sungguh keras hidup ini. Mirip pekerjaan rumah berbau rumus-makin dikerjakan, semakin berantakan. Oh ya, syalala!
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh (kasusku terjerambap). Tidak mungkin pepatah itu sesuai kondisiku. Rencanaku matang. Tindakanku diperhitungkan. Lalu, apa yang salah dengan "ingin hidup damai"? Tidak bolehkah aku memiliki akhir bahagiaku sendiri? Akhir tanpa pertumpahan darah. Saudara-saudara, ada di mana letak kesalahan perhitungan bisnis penyelamatan hidup Alina versi 0.4? Apa kurang mutakhir? Apa kurang keren? Faktor apa yang kulewati? Katakan. Katakan kepadaku. SEKARANG!
Hatiku hancur.
Remuk redam.
Otakku menguap!
(Tunggu sebentar. Akan kuusahakan menyublimkan uap pemikiran. Mungkin masih bisa terselamatkan. Ya sudah. Aku menyerah.)
"Alina, pertimbangkan nasihatku."
Panggilan Jenin membuyarkan lamunan-merangkap-beban-pikiran-dan-mentalku. "Ya?"
Dia menggeleng. "Kau tidak mendengarkanku?"
Ya. Tepat sekali, wahai tokoh protagonis jebakan. Aku sedang merencanakan penyelamatan jilid dua. "Aku mendengarkan." (Bohong.) "Dengan caraku sendiri." (Jujur.)
"Kadang aku berpikir kapan pun kaubisa lenyap."
Kadang aku berpikir kapan pun kauboleh kembali ke pelukan Caius. Akan lebih baik identitasmu sebagai Jenin tidak terbongkar. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada diriku-yang-payah. (Nah, kali ketiga mengatai diriku sendiri buruk.) "Jenin, kenapa kau memilih wujud "pria" padahal kaubisa menemuiku sebagai Yuna?"
"Kau lebih suka wujudku sebagai perempuan?"
Permisi, aku ingin muntah. Howek! "Bukankah lebih aman berpura-pura sebagai perempuan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...