Jenin. Karakter asing dalam novel. (Sebenarnya mungkin pengarang menjelaskan, tetapi aku tidak tuntas membaca. Hei, memangnya hidupku wajib terfokus ke roman picisan? Aku butuh pekerjaan, uang, makan, dan tentu saja itu semua berkaitan dengan progam bertahan hidup. Bukan salahku bila di "dunia ini" ternyata informasi novel justru menjadi penentu keselamatanku.) Aku hanya mengenalnya sebagai Yuna. Protagonis rupawan, pujaan lelaki, dan satu-satunya hidup terjamin.
Yup, artinya aku tidak tahu apa-apa.
Adapun yang kumengerti hanyalah posisiku sebagai antagonis. Karakter yang ingin merebut cinta Caius dari tangan Yuna-yang-kukira-wanita-sejati-ternyata-bukan. (Ayolah, kalian pasti mengerti alasan Jenin tetap memakai identitas sebagai Yuna. Inilah saatnya kalian berkata, "Aku mencium aroma busuk." Jelas ada yang tidak beres.)
Kenapa? Apa yang salah? Bukankah aku sudah memilih jalan teraman?
"Oh tidak semudah itu," begitulah kata takdir kepadaku. Impianku memiliki pondok mungil di pinggir danau terancam hancur.
Setiap hari aku memikirkan cara teraman melarikan diri. Satu, aku akan merancang pondok di suatu tempat terasing yang jauh dari kerajaan. Dua, akan kuhasut Joseph dan Inocia agar meninggalkan ibu kota. Dengan begitu, ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, setidaknya mereka berdua aman. Tiga, akan kutarik seluruh aset dan memindahkannya ke rekening baru. Empat, mengganti identitas. Jaga-jaga bila Caius memutuskan hukuman kepadaku.
Oh ternyata aku tidak bisa hidup santai!
Apa salahnya ingin hidup bahagia? Aku tidak butuh cinta dan sederet sakit hati karenanya. Tidak. Bukan itu yang kuinginkan. Semua orang mudah jatuh cinta, sanggup patah hati, dan mencoba mencari pasangan. Namun, aku tidak seperti itu. Dari sekian wanita mungkin hanya aku seorang yang pengecut dalam urusan percintaan. Aku tidak berani memulai hubungan semacam itu. Tidakkah patah hati itu menakutkan? Oh ya, jawabku. Patah hati itu sangat menakutkan.
"Kau akan datang, 'kan?"
Jenin berhasil menyadarkanku dari lamunan. Aku terperangah, mencoba fokus pada sosok yang ada di sampingku. Kami berdua, aku dan Jenin, masih bersama; duduk di bawah pohon, menikmati semilir angin dan kudapan ringan. "Ya ... semua orang pasti datang. Bukan begitu?"
Perayaan Bintang Jatuh. Setiap lima belas tahun sekali warga Arcadion menyelenggarakan perayaan demi menyambut anak Dewi Bulan yang turun ke dunia.
"Siapa nama yang akan kautulis di lilin doa?"
Sudah menjadi adat bahwa setiap Perayaan Bintang Jatuh setiap gadis menuliskan nama kekasih mereka di sebuah lilin kemudian melarungnya di sungai. Konon Dewi Bulan akan memberkati nama mereka dan menjanjikan bahtera pernikahan.
Oh tentu saja aku tidak percaya.
Lagi pula, tidakkah mustahil Dewi Bulan mengabulkan setiap nama yang ditulis para gadis? Bayangkan bila ada lelaki A yang ternyata namanya ditulis oleh lima gadis. Tidak mungkin kelimanya nanti menikahi lelaki yang sama kecuali, oke, si lelaki memutuskan untuk berpoligami. Oh, menyebalkan. Aku tidak sudi dimadu oleh siapa pun.
"Tidak ada," jawabku. Tiba-tiba saja aku tertarik menyumpal Jenin, mungkin mulutnya akan memilih topik pembicaraan yang lebih ramah lingkungan. "Aku tidak ingin menulis nama siapa pun."
Sungguh kurang ajar. Jenin termasuk tamu yang kehadirannya tidak diharapkan. Datang tidak dijemput, pulang tidak diantar. Pergi sana!
"Bahkan nama Pangeran?"
Buku di pangkuanku terasa pas bila digunakan sebagai alat pukul. Sepertinya boleh juga diujicobakan. "Tidak." Nada suaraku terdengar menusuk bahkan untuk telingaku sendiri. "Tidak ada nama lelaki mana pun."
"Coba bayangkan rasanya menjadi putri mahkota."
"Coba bayangkan rasanya hidup damai tanpa beban," kataku menegaskan. Pada detik itu, bisa kulihat tatapan menerawang di kedua mata Jenin. Hanya sesaat tapi cukup bagiku menangkap sorot kejam milik seekor makhluk buas. Jenis tatapan yang kadang kurasakan pada Penyihir Rugal. "Tidak ada cinta maupun dendam. Satu-satunya yang kaumiliki hanyalah waktu. Tidak perlu memikirkan hal-hal menyeramkan sebab jiwamu terbebas oleh rantai penderitaan. Kau bisa melakukan apa pun untuk dirimu sendiri. Bukankah hidup semacam itu jauh lebih menarik daripada duduk di singgasana?"
Perlahan si makhluk buas dalam diri Jenin pun mundur, bersembunyi dalam dirinya, lenyap. "Kau tidak tahu, Alina. Kau tidak mengerti arti singgasana yang kautolak itu."
Aku menggeleng. "Satu-satunya yang tidak kau mengerti ialah tanggung jawab dan beban moral. Aku tidak ingin terantai dengan kepentingan orang lain. Saat menjadi orang yang memiliki kekuasaan terbesar, maka sudah pasti ia harus menjalankan kewajibannya terhadap khalayak. Andaipun seseorang, yang berkuasa, menggunakan kelebihannya demi menggencet rakyat maka bisa dipastikan ia akan tumbang oleh ketamakan."
"Ternyata kau sangat rumit."
Rumit. Baru kali ini ada yang menyebutku rumit. Padahal bila ada yang bisa melihat dan mendengar isi kepalaku niscaya tak seorang pun sanggup bertahan barang lima menit.
Jenin bangkit. Ia menepuk bagian bawah gaun, membersihkan daun yang menempel. "Kalau aku jadi orang pertama di Arcadion," katanya. "Akan kupastikan kau terpilih sebagai orang terdekatku."
Ha. Ha. Ha. Aku tidak ingin jadi ahli staf istana. "Terima kasih atas tawaranmu," kataku menolak, "aku ingin jadi pengusaha saja."
***
Ketika malam tiba, pikiranku dipenuhi bermacam pertanyaan. Sudah benarkah keputusanku menolak Caius? Atau mungkin seharusnya aku kawin lari saja dengan Nox? Sepertinya dia tidak keberatan bila kuajak pergi ke suatu tempat antah-berantah. Iya, kami berdua. Hanya ada aku dan Nox. Mungkin kami bisa membina mahligai pernikahan indah seperti pelangi. Syalala.
Atau tidak mungkin.
Tubuhku terasa kaku. Terbaring dalam keadaan jantung berdebar karena antisipasi masa depan yang tidak menentu. Bahkan kedua mataku tetap awas-menatap langit-langit. Anehnya di saat seperti ini aku malah memikirkan Nox. Ada keinginan untuk mencurahkan isi hati kepadanya, tetapi kutahan sebab takut membebani Nox.
Nanti, kataku kepada diri sendiri. Saat Perayaan Bintang Jatuh kami berdua pasti bisa bertemu. Lalu, kecemasan dalam hatiku bisa berkurang bila ada di dekatnya. Tentu saja itu dapat terjadi bila Penyihir Rugal tidak mengekor di belakang Nox-ku. Lihat! Bahkan menyebut nama si Penyihir Edan saja mampu mendidihkan darahku! Aku masih tidak terima hampir dijatuhkan ke laut dan menjadi makanan ikan serta ubur-ubur. (Apa ubur-ubur makan daging?)
"Alina, kau harus tidur."
Meski kubujuk diri sendiri, kantuk tak kunjung datang. Hatiku cemas memikirkan nasib Nox. Andai Caius segera memilih calon pendamping, mungkin diriku bisa merasa lega.
Aku hanya bisa menghela napas-membiarkan diri tetap terjaga.
***
Selesai ditulis pada 9 Juli 2020.
***
Hai teman-teman.
Terima kasih atas dukungan kalian. Huhu. Maaf karena saya sering molor dan mager. :-) Susah banget konsisten. Kalau udah nemplok kasur rasanya tuh nggak pengin ngapa-ngapain. :-)
Oh ya, jaga kesehatan dan jangan lupa gunakan masker saat bepergian. Hati-hati, ya. Jangan lupa perbanyak konsumsi sayuran agar imun tubuh terjaga. Jangan banyak pikiran agar imun tubuh tidak melemah. (Hiks, ngomong orang lain jangan overtihingking tapi diri sendiri masuk master-of-overthingking.)
I love youuuu teman-teman. Tolong doakan semoga saya nggak gampang mager, ya? Terima kasih.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...