Aku berhasil melewati malam gala dengan selamat tanpa satu kekurangan pun. Kaki, oke. Mata, tidak ada yang copot. Telinga, utuh. Tangan, belum putus. Organ tubuh, masih berfungsi secara normal. Satu-satunya yang perlu dipertanyakan: Kewarasan Raja dan Caius. (Halo, aku bicara dengan pikiran bawah sadarku. Seratus persen dijamin valid dan anti-hoax. Oke, mungkin sedikit labil dan secara mental tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lagi pula, siapa yang bisa kuajak berdiskusi mengenai rencana-mempertahankan-nyawa di dimensi ini? Tidak ada. Nihil. Oleh karena itu, ada baiknya, dan sangat dianjurkan, berdiskusi dengan diri sendiri. Hei, kau tidak mungkin mengkhianati dirimu sendiri. Jangan bilang mengenai “hati mengkhianati ego”. Teman-teman, rumus khianat hanya berlaku soal cinta, harta, dan jabatan. Cinta? Aku berencana melajang dan menjadi wanita terkaya se-Arcadion. Harta? Sudah dijawab pernyataan pertama. Jabatan? Menjadi orang berpengaruh itu merepotkan. Biarkan aku hidup damai. Syalala. Tanpa utang. Syalala. Tanpa derita cinta bertepuk sebelah tangan. Syalala.) Abaikan bualanku. Sekali lagi, Caius dan Raja perlu diobati. Benar-benar diobati secara klinis dan higienis. Logikanya seperti ini:
Caius → Bertemu Yuna → Jatuh Cinta → Tamat.
Raja → Bertemu Yuna → Tawaran Mantu → Tamat.
Namun, yang terjadi di lapangan:
Caius → Alina 0.4 → Masih Dipertanyakan. (Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak! Caius tidak seharusnya tertarik kepadaku. Dengarkan aku, Caius. Kau seharusnya menari dan bercinta dengan Yuna. Sana pergi dari lingkaran hidupku. Kau dilarang masuk.)
Ternyata rencana penyelamatan Alina 0.4 masih jauh dari kata berhasil.
“Nona, kenapa cemberut?”Lamunanku sukses bubar jalan setelah Emily memanggilku kembali ke alam nyata-yang-sebenarnya-ingin-kuhindari (sepertinya semua manusia dewasa pernah berada pada fase “aku ingin melarikan diri dari kenyataan”. Ya, aku ingin melarikan diri dari realitas. Hidup ini berat. Hidup tidak adil bagi sebagian orang. Kenapa ada ketidakadilan? Tegakkan revolusi kemanusian!). Pandanganku terfokus ke cermin yang memantulkan sosok Alina-yang-luar-biasa-cantik-tapi-aslinya-bengis (ehem, Alina versi Crimsom Rose, ya, bukan Alina versi revolusi kerakyatan + model 0.4). Kami berdua tengah melakukan ritual malam (menyiapkan darah gagak dalam cawan emas, lilin merah, dan jampi-jampi. Coba bayangkan seindah itu.) Setelah mandi dan mengenakan gaun tidur, Emily akan menyisiri rambutku (kemudian dia bergosip mengenai tukang kebun tampan atau bangsawan ganteng. Emily, cowok ganteng pasti menyimpan siasat busuk. Dengarkan aku, Emily! Dengarkan alam bawah sadarku!).
“Aku sedang berpikir,” jawabku, serius.
“Apa yang sedang Nona pikirkan?”
Invasi dunia. Manipulasi budaya. Revolusi industri. Olikarpus. Cogito ergo sum. Nihilisme. Kapitalis. “Emily, bagaimana bila ada seseorang yang seharusnya mencintai wanita lain ternyata tertarik kepadamu?”
Gerakan menyisir pun terhenti. Emily menatap pantulanku dalam cermin. “Nona, kau tidak berencana merebut tunangan gadis lain, ‘kan?”
Imajinasi Emily jauh lebih inovatif daripada milikku. (Tambahan, di dunia ini sepertinya wajar anak gadis usia sepuluh tahun ditunangkan lebih awal. Kalian tahu politik, ‘kan? Politik kotor. Siasat memperluas wilayah dan pengaruh. Andai Joseph berani menikahkanku dengan lelaki berpengaruh, akan kupastikan lelaki itu menyesal telah mengenalku.)
“Emily.”
“Seperti apa pun bentuk cinta,” katanya meniru penyair romansa. “Tetaplah cinta, bahkan bila rintangan membentang di sepanjang jalan. Nona, perjuangkanlah cintamu.”
“Emily, maksudku—”
“Cinta tidak pernah berdosa,” katanya mengabaikanku. “Hati tidak akan salah memilih pasangan. Sama seperti musim semi yang selalu bisa menemukan jalannya setelah musim dingin melanda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...