2

44.2K 5.6K 321
                                    

Pertama kali berjumpa Nox saat usiaku sekitar enam tahun. Bocah antah berantah. “Dia tidak memiliki kerabat. Sebatang kara.” Joseph tidak mempertanyakan alasan di balik keputusan Paman Nuer membawa Nox ke kediamannya. Alih-alih ia mempersilakan Nox tinggal sebagai pelayan dengan asumsi putri semata wayang membutuhkan teman bermain.

Salah satu keuntungan menjadi pembaca ialah, aku bisa menjauhi skenario terburuk: Mati keracunan.

Awal pendekatan pertama berjalan canggung. Harus aku yang memulai percakapan. “Nox, mau apel?” ... “Nox, suka teh?” ... “Nox, ayo main.” ... “Nox, baik.” Sampai aku mulai berpikir bahwa Nox tercipta untuk membenci Alina. Tidak masalah siapa yang ia sukai atau benci, namun beda ceritanya kalau aku yang ia benci. Hei, aku hanya ingin bertahan hidup, jadi pedagang sukses, dan hidup bahagia tanpa mengganggu orang lain. Tidak bisakah buka hatimu, Nox? Sedikit saja. Aku hanya ingin menunjukkan kesungguhan bermitra denganmu dalam bisnis “saling menghargai”. Lagi pula, sampai kapan aku waswas memikirkan masa depan sebagai antagonis laknat?

Sepertinya urat malu milikku benar-benar putus. Siang, malam, sore mencoba mencairkan dinding kesenjangan antara Nox dengan diriku. Alina asli tidak sudi menyentuh Nox (mungkin menurutnya seganteng apa pun cowok kalau miskin, ya percuma), menyapa pun tidak pernah ia lakukan. Tetapi kini, Alina versi mutakhir harus melakukan revisi dan revolusi. Senyum, bersikap manis, dan tolong jangan lupakan pelukan hangat (untung saja aku masih anak-anak, di dunia asalku aku sudah bisa dikategorikan pelecehan). “Nox, ayo sarapan.” ... “Nox, tampan.” ... “Nox, kalau sudah besar tolong jadikan aku sebagai pengantinmu.” Oke, yang terakhir memang keterlaluan, namun segala jurus penghancur perlu kulakukan demi keselamatan. Kalian pasti bisa mengerti alasan ketidaksopananku.

Tetapi, usahaku tidak membuahkan hasil. Hari demi hari Nox semakin memperlihatkan keengganannya menetap di kediaman Joseph. Walau tidak menolak permintaan Joseph menjadi teman bermainku, bukan berarti ia setuju berpura-pura senang saat bersamaku. Nox, apa kau ingin membunuhku lebih awal?

Terkadang aku mendapati Nox menatap langit. Mungkin ia tengah memikirkan betapa-sialnya-menjadi-pengasuh-balita-cerewet-sok-tahu atau dia kemungkinan besar mempertimbangkan cara membunuh putri majikan tanpa meninggalkan jejak. Mau tidak mau aku pun mencoba pendekatan lain. Berbekal niat baik, sangat baik dan murah hati, kupetik mawar merah (tentu saja tanpa sepengetahuan tukang kebun) dan kuikat menggunakan pita merah hingga membentuk buket. Jenis mawar yang disukai Inocia merupakan mawar dengan duri mungil yang senang memangsa jari-jari mungil tak berdosa. Sakitnya tidak seberapa bila dibanding masa depan mati diracun. Oleh karena itu, rasanya setimpal bila satu dua (ralat, semua) jariku terluka. Andai setelah usaha sepedih ini Nox tak kunjung luluh, maka aku akan mundur teratur. Sampai jumpa, Dunia. Selamat datang, Realitas.

“Nox, jangan bersedih.”

Jelas Nox terkejut mendapati putri majikan menyorongkan sebuket mawar ke arahnya. Tidak ada kata terucap. Hanya keheningan.

“Jangan bersedih,” kataku, tulus. “Aku ingin menjadi temanmu. Nox, tolong jangan benci aku.” Sebenarnya aku ingin menambahkan: Nox, tolong jangan membunuhku di masa depan. Oke?

Sekian detik yang terasa seperti seabad pun berlalu. Nox meraih buket mawar, menatap setiap kuntum lalu berkata, “Terima kasih.”

“Nox, suka?”

Nox mengangguk, seulas senyum tersungging. “Sangat cantik.”

“Secantik aku, kan, Nox?”

Selera humorku benar-benar sekarat. Kutatap Nox yang diam dalam perenungan. Di belakang Nox bisa kulihat masa depan kelam; racun, pangeran pendendam, sipir-sipir, dan mulut berdarah penuh racun. Andai ada sekolah pelawak, mungkin aku akan meminta Joseph mengangkat guru humor untuk mendidikku.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang