40

6.3K 962 10
                                    

Kegilaan. Andai benar terserang kegilaan, mungkin hatiku tidak sesakit ini. Terpenjara dalam ruang tanpa jendela, satu-satunya cahaya hanya berasal dari nyala lampu minyak yang tertanam di bagian luar dinding sel. Tidak ada apa pun; dipan, gelas, piring, bahkan jerami-tidak ada apa pun selain diriku.

Mereka-para prajurit-mendorongku masuk tanpa basa-basi. Nyeri terasa di bagian rusuk. Aku meraba pinggang kemudian turun ke pergelangan kaki. Dingin. Ujung jemari seperti tersengat. Seseorang memasang kekang pada salah satu kakiku. Rantai tersebut terpaku pada dinding di belakangku. Aroma ruangan mengingatkanku pada ruang bawah tanah; apak, lembap, dan basah. Di seberang jeruji tidak ada ruang apa pun. Hanya dinding yang disusun dengan batuan hitam. Tidak ada suara manusia menangis, ucapan cabul, segala hal yang identik dengan penjara kaum buangan. Karena itu, aku asumsikan penghuni dunia bawah ini hanya diriku seorang.

Penjara. Tempat terakhir Alina.

Mungkin Caius berubah pikiran. Dia menganggapku sebagai pengganggu. Akhirnya dia berani mengambil tindakan ekstrem. Aku tidak keberatan dibenci Caius. Akan tetapi, lain cerita bila dia menawan orangtuaku dan membunuh pekerja mereka. Tidak masuk akal. Caius yang kukenal, melalui novel, tidak mungkin membunuh sembarang orang. Dia tidak seperti itu. Dia bukan pembunuh berdarah dingin. Bahkan ketika menghadapi antagonis semacam Alina, Caius menunggu kesempatan hingga bukti terkumpul kemudian menjatuhkan hukuman.

Cairan asam seakan menggelegak di tenggorokkan, membuatku tercekik. Aku muntah, tapi tidak ada apa pun yang keluar dari dalam mulutku. Tubuh menggigil. Susah payah kuseka keringat di dahi dan pelipis. Benakku dipenuhi bayangan terakhir Emily beserta para pelayan bersimbah darah. Aku berharap bisa melakukan sesuatu, apa pun,s demi menyelamatkan mereka.

Bibirku bergetar. Isak tangis tak lagi tertahankan. Mata dan hidung terasa panas sementara air mata berderai membasahi wajah. Amarah berkobar dalam diriku atas perlakuan yang ditimpakan Caius terhadapku, kepada Joseph, Inocia, Emily, dan seluruh orang yang kukenal. Lalu, Nox. Semoga dia tidak kembali. Aku tidak mungkin sanggup menyaksikan Caius menghancurkan orang tersayangku. Bagaimanapun juga aku dan Nox telah menghabiskan sekian tahun kebersamaan. Meskipun diawali dengan kepura-puraan lantaran aku tidak ingin mati di tangan Nox, tetapi segala hal yang kuperbuat demi dirinya pun berakhir dengan ketulusan.

Rasa bersalah. Perasaan ini akan menghantui sepanjang hidup. Sakit. Luar biasa menyakitkan. Seakan ada seseorang yang membenamkan pisau ke dalam dadaku, menusuk dan mengais setiap serat daging, selapis demi selapis hingga memperlihatkan segenggam jantung merah. Entah berapa lama aku menangis, hingga samar-samar telingaku mendengar derap langkah kaki. Aku mendongak, menatap dua sosok di depan jeruji. Salah seorang di antara mereka mengenakan jubah, sementara yang lain....

Caius.

Gemerincing logam tercipta saat sosok berjubah membuka kunci dan mempersilakan Caius masuk. Tanpa sadar aku menggigit bibir hingga darah menetes di sudut bibir.

"Kenapa?" tanyaku. Seolah ada gemuruh dalam dada, jantungku berdegup kencang, tanpa bisa kutahan amarah meluap seiring tangis. "KENAPA?"

Dia tidak menjawab. Hanya diam, memperhatikanku dengan wajah sedingin es. Aku ingin menghancurkan keangkuhan dalam dirinya, seluruh dirinya hingga ke bagian terkecil yang membentuk suatu zat, tanpa tersisa. Jenin telah mengambil kesempatan bahagia, yang mungkin kumiliki, dan mencampakkannya seperti binatang buangan.

"Kenapa tidak kau bunuh aku saja?" kataku, getir. Lebih baik mati terhormat daripada menjadi beban orang lain. Aku tidak sanggup menanggung rasa kehilangan. Terlebih wajah-wajah yang telah kehilangan sentuhan kehidupan itu tetap melekat di pikiranku. Seperti noda hitam di hatiku. Dosaku. Kali ini sang dewi pun tidak mungkin berbaik hati terhadapku. Atau mungkin, dia memang tidak peduli kepadaku. Dewi bulan yang bersembunyi dalam lautan doa-doa yang tidak pernah terjawab. "Mereka bahkan tidak tahu-menahu ... mereka tidak tahu apa pun!"

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang