21

10.8K 1.6K 63
                                    

Nanti malam akan kuberitahu kebenaran yang penyihir kesayanganmu.

Nah, pernah dengar ungkapan rasa penasaran bisa membunuh? Aku, manusia yang biasanya mengutamakan rasionalitas dan keamanan (mungkin), terbukti bisa tergoda. Apa pun bila berkaitan dengan Nox, radar kebutuhanku akan aksi pun tersentil. Bisa jadi aku hanya ingin membuktikan bahwa omongan orang-orang mengenai Nox tidaklah benar.

"Nox yang kukenal tidak seperti itu."

Walau kebersamaan di antara kami terhitung sekian musim, tetapi dalam rentang waktu tersebut aku menemukan hal-hal baik dalam diri Nox. Dia telaten; sabar menemaniku bermain, tidak bawel, dan yang terpenting: Calon sekutu yang bisa melindungiku dari ancaman.

Jenin tidak mengerti dan aku berencana membuatnya paham bahwa Nox tidak seburuk penjabarannya.

Maaf, sebentar, akan kujelaskan kronologi ocehan absurdku kepada kalian.

Di "pesta minum teh membosankan yang tidak ingin kuhadiri" Jenin menawariku undangan. "Bukan sembarang undangan," katanya. "Pukul dua belas malam, aku akan menjemputmu."

Sontak kedua alisku pun terpaut hingga menimbulkan kerutan pemicu penuaan dini di dahi. Tidak mungkin Joseph mengizinkan siapa pun, kecuali anggota istana yang bila ditolak akan mendatangkan hukuman, menemuiku.

Maka saat malam tiba, aku pun berpura-pura lelah dan pamit ke kamar. Emily membantuku berganti baju dan setelah lampu kamar dipadamkan aku tidak menunggu kehadiran siapa pun.

Tidur, kataku kepada pikiran yang 'setiap hari' membebaniku.

Tidur, kataku 'sekali lagi' kepada otak agar segera menjalankan fungsi utamanya yakni, mengistirahatkan tubuh.

Tidur. Ayolah, apa susahnya tidur? Tidur merupakan kegiatan termudah yang bisa dilakukan makhluk hidup. Namun, semenjak berbaring di ranjang otak memilih bersiaga.

Aku memejamkan mata, berharap tidur, benar-benar ingin tidur. Tapi, mataku tidak bisa terpejam.

Harus bertemu Nox!

Seolah semesta (biarkan aku sedikit membubuhi nuansa romantis, sedikit) mendengar panggilanku (mungkin saja) kudengar suara ketukan di jendela. Boleh, 'kan, aku berharap Nox benar-benar mendengarku? Aku bergegas menjawab, menyibak gorden, dan menelan kekecewaan.

"Halooo."

Jenin. Saat aku menyebut Jenin, iya lelaki jebakan itu, maka dia dalam kondisi sebagai pria, bukan perempuan. Hampir saja aku mengira dia maling, eh maksudku, pencuri. Rambutnya diikat menyamping, bahkan dalam wujud lelaki pun ia masih terlihat cantik (oh ya, dunia memang tidak adil). Jubah bertudung berhasil menyembunyikan setelan yang ia kenakan.

Kalian bingung?

Oke, aku jelaskan. Jendela kamarku berdekatan dengan pohon cemara. Iya, Jenin duduk di dahan (aku bilang dahan karena aku tidak tahu harus menyebut bagian pohon-tebal-tapi-bukan-batang itu sebagai apa).

"Hai," jawabku, setengah hati.

Aku pikir dia bercanda ternyata....

Hmmm. Sial. Ternyata keamanan di kediaman Joseph patut dipertanyakan. Kenapa Nox dan Jenin bisa masuk sesuka hati? Sihir? Sihiiiir? Terkutuklah semua pencipta sihir. Seharusnya mereka mempertimbangkan penyalahgunaan dan bahaya sihir bagi manusia sepertiku!

Jenin menjentikkan ujung tudungnya. "Siap?"

Salah satu alisku terangkat. "Siap?" Aku sangat siap menamparmu. Oke, terima kasih. Untung saja kami berdua terpisah jarak dan dibatasi oleh kaca jendela. Tambahan, jendela dalam keadaan terkunci. Terima kasih.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang