44

8.9K 1.1K 67
                                    

Salah satu impianku terwujud. Nox membangun, dengan bantuan sihir, pondok dan segala hal yang kami butuhkan demi bertahan hidup. Bangunan mungil tanpa kemewahan, tetapi penuh kehangatan. Kami menanam beberapa sayur dan buah hutan di halaman. Terkadang Nox berburu dan membawa pulang kelinci, pegar, atau ketika beruntung rusa. Kulit hewan akan Nox jual di pasar terdekat dan uangnya akan ia belikan kebutuhan; pakaian, peralatan masak, roti-segala yang kami perlukan.

Hari ini dia berhasil menangkap dua ekor pegar. (Khusus memasak, aku memercayakan kepada Nox. Tentu saja aku tidak bisa membersihkan jeroan hewan. Segalanya dilakukan Nox hingga tahap mengolah.) Unggas terenak yang pernah ada. Kalian mungkin akan menyukai dagingnya bila bisa mencicipi walau segigit.

"Seperti suami istri," kata Nox. Sontak buah-buahan tergelincir jatuh dari tanganku. Apel dan lemon menggelinding di dekat kaki meja sementara aku berdiri kaku menatap Nox yang tengah mengolah sup daging.

Nox mengenakan celana cokelat dan atasan putih, tangannya sibuk mengaduk sup-tampak aneh sekaligus menyenangkan di saat bersamaan. Aku bahkan tidak keberatan memakai gaun biasa yang kainnya sebenarnya terasa panas dan gatal di kulit. Tidak ada satu pun manusia menyadari identitas kami; penyihir buangan dan gadis malang.

Berada jauh dari jangkauan Jenin.

Aku tidak ingin kembali terkurung dalam sangkar emas. Kegilaan Jenin jelas tidak tertahankan. Suatu saat dia tidak mampu mengurung monster dalam dirinya, lantas ketika monster itu memaksa bebas maka aku mungkin akan jadi orang pertama yang merasakan taring maut. Taring yang telah melukai Joseph, Inocia, Emily, bahkan mungkin Caius dan Penyihir Rugal. Paman Nuer. Kudengar dia bisa menghindar karena telah memilih kerajaan lain yang tidak bisa disentuh Arcadion.

Kepadaku Nox tidak pernah bercerita menganai gurunya. Dia terkadang duduk termangu menatap jendela. Saat seperti itu, ketika dia diam dalam keheningan, aku merasa keberadaannya akan lenyap. Namun, dia tetap bersamaku. Solid.

"Bukan berarti aku menganggapmu sebagai istri yang payah." Nox menuang sup ke dalam mangkuk dan meletakkannya di meja. "Lagi pula, istri tidak harus bisa masak."

Suami dan istri. Kami berdua tinggal serumah tapi tidak memiliki ikatan semacam itu. Jangan salah sangka, Nox baik. Sangat baik. Tidak satu kali pun dia berani memandang dan menyentuhku dengan cara kurang ajar. Sejauh ini dia selalu bersikap sopan. Bukan berarti aku tidak ingin memiliki ikatan pernikahan dengan Nox. Tidak. Tidak seperti itu. Aku hanya tidak berani memulai.

"Makanlah," Nox menawarkan. Dia duduk di kursi dan memintaku menyusul. "Selagi masih hangat."

Tanganku terasa basah karena keringat. Perlahan aku memungut lemon dan menaruhnya di meja. "Nox, mengenai pernikahan."

"Aku mengerti." Nox meletakkan sendok dalam genggamanku. "Pernikahan jelas terlalu berat."

"Bukan begitu," kataku mendebat, "aku benar-benar ingin bersamamu. Tapi, apakah aku benar-benar pantas bagimu?"

Penyesalan dan rasa bersalah. Aku takut kehilangan Nox sebagaimana yang terjadi kepada Joseph, Inocia, dan Emily. Andai saat itu aku bisa lebih awal membaca gelagat Jenin, mungkin kejadian berdarah tidak perlu terjadi. Hanya soal waktu saja hingga Jenin berhasil menemukanku. Namun, semoga Jenin memilih wanita lain dan melupakanku. Sebagai raja dia bisa mendapatkan wanita mana pun. semoga.

"Aku tidak peduli," Nox menjelaskan. "Sekarang kita berada jauh dari jangkauan Arcadion. Hanya ada aku dan dirimu. Pertanyaannya, apakah kau benar-benar ingin bersamaku?"

Kehangatan mulai berdentum dalam dada. Aku bisa merasakannya mengalir di pembuluh darah dan setiap jaringan dalam tubuh. Cinta mungkin perkara pelik yang belum tentu bisa kumengerti. Namun, bersama Nox selalu terasa benar dan menenangkan. Asalkan ada dia di sisiku, segalanya terasa sempurna. Walaupun aku memiliki luka dan dia pun terluka, mungkin kami berdua bisa belajar mengobati dan saling menyemangati.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang