5

34.1K 5.3K 451
                                    

Peristiwa yang ingin kuhindari: Acara perayaan kedewasaan putra mahkota.

Undangan berwarna merah lengkap dengan tulisan berwarna emas. Barang yang seharusnya dibuang, tidak perlu dibaca. Tetapi, tentu saja, bila Joseph melakukan hal tersebut maka kami sekeluarga akan dicap sebagai warga lancang. Delapan belas tahun. Usia matang bagi seorang bocah (oh sudahlah, bagiku Caius tetaplah bocah meskipun usianya lebih tua daripada aku) menunjukkan dirinya kini tak lagi menjadi bagian dari dunia anak-anak. (Padahal dunia balita itu jauh lebih menyenangkan daripada dunia dewasa. Mereka tidak perlu menangisi bermacam hal. Cukup perut. Dulu kupikir jadi orang dewasa itu menguntungkan, ternyata kenyataan berbeda jauh. Rasanya aku terlalu cepat berkembang.)

Kami sekeluarga; aku, Joseph, dan Inocia; bersiap menghadiri gala yang diselenggarakan pihak istana. Emily terus berkomentar betapa beruntung diriku. Ia bahkan bersemangat merias. “Aku ingin mereka melihat Nona sebagai peri mawar,” katanya kepadaku, antusias. (Peri mawar. Aku bosan mendengarnya. Percayalah, Emily. kecantikanku tak sebanding dengan kerupawanan Yuna. Pasti aku akan terabaikan dan tidak dilirik. Omong-omong, lebih baik begitu.) Gaun merah darah dipilih karena katanya menonjolkan keindahan rambutku. Jenis pakaian berpita yang akan dengan senang hati kutenggelamkan ke dasar sungai. Payet, sulaman mawar, dan mutiara merah. Semua dirancang dalam kesatuan. Padu. Riasan yang kugunakan pun tidak tebal (hei, aku baru lima belas tahun. Remaja tidak pantas mengenakan riasan ibu-ibu paripurna). Saat selesai semua pelayan tampak puas dan gembira.

“Emily, tolong aku.”

“Kenapa, Nona?”

“Sepertinya baju ini membuatku susah berjalan.”

“Nona, jangan begitu. Kau terlihat sempurna.”

Kalau begitu coba saja kau kenakan baju ini! “Ayah dan Ibunda pasti sudah menunggu.”

“Ah, Nona. Mari segera temui mereka.”

Awalnya kuharap Inocia setuju denganku bahwa baju ini terlalu rumit. (Rumit merupakan kata sopan yang ingin kugunakan untuk menggambarkan betapa tidak hematnya mereka membelanjakan uang.) Tetapi, begitu melihatku, wanita itu tersenyum dan memuji.

“Ayah....” Aku menatap penuh harap kepada Joseph. Semoga saja dia mau menolong dan membiarkanku memilih. Tapi, sekali lagi, dia bahkan tidak keberatan putrinya mengenakan pakaian mewah. Mewah yang sangat mubazir.

“Ayo, kita tidak boleh terlambat.”

Akhirnya tidak ada yang sependapat denganku.

Kereta kuda yang kami naiki melaju meninggalkan kediaman. Di sepanjang perjalanan bisa kulihat lampu berbentuk bunga yang berpendar—saling bersaing mendapatkan perhatian. Bunga-bunga segar terangkai di setiap jendela dan pintu. Setiap orang bersukacita; minum bir, makan daging panggang, menyalakan kembang api, dan menyanyi. Sepertinya mereka menyambut baik perayaan kedewasaan Caius.

Malam ini mungkin aku akan bertemu Nox. Surat terakhir kudapat tiga tahun lalu, setelahnya ia tak lagi mengirimiku surat. Mungkin dia sadar bahwa ada wanita lain yang ingin ia miliki. Tentu saja aku sedih, namun kesedihan yang kurasakan ini bukanlah karena cemburu melainkan hilangnya pertemanan di antara kami. Aku takut plot tragis itu masih menghantuiku. Bisa saja kemungkinan jahat datang dan memintaku memenuhi tuntutan utama:

“Jadilah antagonis sejati! Dasar kau tidak tahu diri!”

Memikirkannya saja mampu mengurangi separuh kebahagiaanku.

Tunggu sebentar. Bukankah Yuna diundang? (Haha, lengkap sudah paket deritaku.) Malam ini Caius akan bertemu Yuna. Mereka berdua mulai jatuh cinta, saling terikat, tamat. Selamat tinggal, Krisis. Aku tinggal menyemangati Nox. “Nox, tenang saja. Selama janji suci belum terucap, kau masih bisa menikung Caius.”

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang