23

10.6K 1.6K 37
                                    

Diam itu emas.

Seharusnya kupatuhi nasihat bijak tersebut sebelum mengikuti Jenin-sialan-pembawa-petaka. Aku ingin menyalahkan seseorang dan oknum yang pantas disalahkan hanya ada satu yakni, Jenin. Seharusnya (sekali lagi kusebutkan kata "seharusnya") aku belajar dari Crimsom Rose (syalala, judul buku pembawa petaka memang tidak boleh disepelekan). Alina mati karena cemburu kepada Yuna dan aku "bisa saja" mati akibat memercayai Jenin. Kami berdua, aku dan Alina, terlalu hijau dalam membaca perkara. Alina menganggap dirinya pantas dicintai Caius, melepaskan seluruh kesempatan hidup, dan berakhir tragis (ibarat sudah jatuh tertimpa tangga; cinta bertepuk sebelah tangan dan mati sebagai penjahat). Aku? Oh ya, aku tidak berencana mati seperti Alina, tetapi langkah yang kuambil bisa jadi senjata makan tuan. (Ayolah, aku hanya ingin memastikan keadaan Nox. Tahu, kan, jagalah musuhmu dalam jangkauan agar bisa memata-matai pergerakannya? Lebih baik aku tahu apa yang Nox pikirkan daripada tidak sama sekali.) Namun, tentu saja menyalahkan orang lain bukan tindakan dewasa dan sangat tidak terpuji. Oleh karena itu, aku akan menyalahkan gen "bodoh" yang mengalir dalam darahku. Gen yang ternyata ikut berevolusi semenjak pindah dalam kehidupan kedua. Kukira diriku sudah melakukan perbaikan, ternyata kerusakan yang mungkin akan kutimbulkan bisa saja fatal.

Alina 0.4: Terima kasih, Gen Bodoh. Ternyata kesetiaanmu patut diacungi jempol.

Gen Bodoh: Aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Kita akan menjadi sahabat selamanya. Bersama. Tidak terpisahkan.

Terima kasih. Terima kasih. Astaga! Terima kasih kepada diriku sendiri yang berdedikasi melakukan tindak berbahaya, tolol, tidak terencana, gegabah, dan menyedihkan.

Sangat menyedihkan.

"Peri Mawar, apa yang kaulakukan di sini?"

Ludah terasa pahit. Tenggorokkanku kering bukan main dan gatalnya minta ampun. Aku berharap bisa menjawab pertanyaan Nox tanpa memicu kecurigaan, tetapi tentu saja itu tidak mungkin karena Jenin ada bersama kami. (Kenapa aku merasa seperti istri yang tepergok selingkuh oleh suaminya?)

"Aku dan temanku ... kami hanya ingin menikmati pemandangan malam." Ayo, Nox. Kau harus percaya. Harus! Tidak boleh curiga sedikit pun. Aku, kan, sahabat-baik-tak-tergantikanmu. Satu-satunya di dunia. Hanya aku seorang! "Ternyata tidak terlalu menarik. Lalu, kami weeew ... ingin pergi."

Kukirim sinyal "awas kau salah omong" kepada Jenin melalui tatapan. Semoga dia cukup bijak dan tidak memulai pertikaian. Jenin, sehebat apa pun dirimu tetap tidak ada artinya di hadapan penyihirku! (Wah, kata terakhir terdengar romantis. Penyihirku. PENYIHIRKU! Syalala, kalian pasti mengerti artinya, 'kan?)

Ujung bibir Nox berkedut. "Jalan-jalan?"

Jenin, kalau kau tidak membantuku, maka kita berdua akan mati.

"Lepaskan, Alina." Luar biasa! Jenin tidak mengikuti skenario yang kuharapkan. Dia mengangsurkan tangan, isyarat agar aku kembali bersamanya. "Kami telah melihat terlalu banyak."

Dulu mungkin aku akan mengharapkan dua pria tampan memperebutkanku. Namun, itu dulu! Sekarang yang lebih penting ialah, keselamatan. Aku tidak berencana melihat pertumpahan darah. Setop hormon testosterom! Kalian para pria pasti bisa melakukan uji kekuatan dengan cara yang lebih bermartabat. Misalnya, balap karung.

"Kenapa semua pria bebas menyebut namamu, Peri Mawar?"

Hei, apa salahku? "Nox, kami akan pulang ke rumah," kataku menambahkan: "Janji!"

"Dua kali," kata Nox kepada Jenin, "kita bertemu dan setiap perjumpaan kau membahayakan peri mawarku."

"Apakah dia tidak boleh melihatmu?"

Suara Jenin terdengar tenang, tidak ada tekanan, dan terfokus. Dia mungkin bebal; tidak bisa membedakan antara ancaman dan peringatan bersifat jinak. Nox tidak boleh diremehkan. Seharusnya Jenin lebih berhati-hati dalam bertutur agar kami berdua bisa pulang dalam keadaan utuh.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang