12

22.6K 3.2K 114
                                    

Duduk di pangkuan pemuda tampan, anehnya, tidak membuatku berdebar-debar. Momentum "inilah takdir cinta". Dua kutub saling menarik. Nyanyian cupid. Sensasi manis pasangan kekasih. Semua itu ... tidak muncul, tidak kurasakan, dan tidak kuinginkan. Tidak ada gairah cinta (jantung tetap berdetak stabil seperti biasa. Terlalu biasa kalau boleh jujur). Tidak ada bunga mekar serempak di sekitarku. Tidak ada sensasi kupu-kupu terbang dalam perutku. Intinya: Jiwaku kering hingga tidak mampu merasa jatuh cinta. Wajar, bisa jadi. Tidak wajar, mungkin saja. Aku tidak pandai memilah emosi saat pemuda rupawan memperingatkanku perihal bahaya. Jauh sebelum aku bertumbuh dewasa sebagai Alina, telah kusadari ancaman kematian yang dijatuhkan Nox dan Caius. Oleh sebab itulah, sedari awal aku berusaha menjauhi perkara apa pun. Tidak ingin terlibat cinta dengan siapa pun. Tidak mengharap perhatian. Terpenting: Berusaha tidak mengancam kedudukan orang penting. Namun, permainan maut tampaknya sedang ingin bergurau denganku. (Ayolah, biarkan aku hidup damai bersama hartaku. Tidak bisakah kalian meninggalkanku santai tanpa mencemaskan algojo satu, dua, tiga, dan kini empat? Bisnis boneka bahkan belum menembus pasar besar. Oke, tidak ada yang mendengarku. Lupakan saja.)

"Siapa namamu?" Hei, hei, hei. Dia melarangku bertanya hal berbahaya. Nama jelas tidak termasuk salah satu dari hal berbahaya.

"Apa itu penting?"

Aku mengerutkan dahi. Kesal bukan main. Memangnya kau mau kupanggil monyet? "Pasti namamu bukan Yuna dan aku tidak nyaman memanggilmu Yuna."

Dia berpura-pura berpikir serius. Cukup lama hingga aku mempertimbangkan pilihan beberapa pilihan buruk: Pukul kepala. Gigit telinga. Cekik sampai kehabisan napas.

"Jenin," jawabnya.

"Bohong."

Jenin-yang-nama-asli-entah-siapa kembali memasang senyum profesional. "Demi keselamatanmu, sebaiknya kau mengenalku sebagai Jenin." Hening sejenak, senyum nakal pun muncul di wajahnya. "Kau boleh memanggilku Yuna. Aku tidak keberatan."

Permisi, aku ingin muntah.

"Jenin, aku tidak suka dirayu lelaki yang mengenakan pakaian perempuan."

Jenin mengedip, genit. "Setidaknya aku mengenakan celana panjang."

"Jenin, sebaiknya kita pikirkan cara ke luar dari sini," kataku sembari menunjuk langit. (Kubilang langit, tetapi sebenarnya langit terhalau rimbun dahan. Suram, pengap, dan mungkin aku akan mati merana di lubang sialan ini bersama lelaki asing.) "Kau, kan, tidak berencana mati bersamaku, bukan?" Mengucapkan kata mati menyadarkanku rasa nyeri di lengan yang terus berdenyut.

"Aku tidak keberatan," katanya sembari menggenggam jemariku. Tatapannya teduh, tiada emosi negatif yang terpantul di kedua matanya. "Mati bersamamu jauh lebih menyenangkan daripada sekarat seorang diri."

Wahai engkau yang baru kukenal, aku berencana memperluas bisnis dan hidup damai sampai tua. Setelah berhasil membina hubungan baik dengan Nox, teganya engkau mengajakku mati bersama. Kalaupun engkau ingin mati, maka kusarankan Caius atau Penyihir Rugal. Kalian bisa membina hubungan multilateral. Pergi sana. Sejauh mungkin dari rencana keselamatanku. "Aku tidak ingin menjadi Juliet-mu."

"Siapa Juliet?" (Oh ya, aku lupa. Jenin tidak tahu drama Romeo dan Juliet. Bisa kupastikan leluconku nanti akan sekarat.)

Pelan-pelan kulepaskan jemariku dari genggaman Jenin. Untungnya, dia bukan tipe ngotot seperti Caius dan Nox. (Omong-omong, mereka berdua tampaknya akan bersaing memperebutkan seorang "lelaki". Maaf, Nox. Sebenarnya aku pendukungmu, tetapi cinta tampaknya belum berpihak kepadamu.) Mereka senang menyentuh tanpa permisi. Main peluk. Main gandeng. Sesuka hati tanpa mempertimbangkan kesiapan jantungku.

"Aku tidak suka konsep kematian romantis," kataku menjelaskan. "Bunuh diri. Cinta sejati. Tidakkah ada harapan yang layak diperjuangkan?"

"Nah, seperti apa harapan yang pantas diperjuangkan?"

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang