19

13.5K 2K 77
                                    

"Kebetulan aku tidak tertarik menjadi ratunya para ratu," kataku mendebat Caius. "Kudengar mengurus pemerintah bisa memicu penuaan dini."

Hei, hei, hei. Salah satu cita-cita terhormatku ialah menjadi CEO (tentu saja urusan marketing dan bisnisku berasal dari keinginan meninggikan harkat dan martabat dalam masyarakat. Kalian paham, kan, betapa mengerikannya mulut tetangga berwatak ibu tiri Bawang Putih? Selalu ingin tahu, perlu tahu, dan yang terparah: Bahagia melihatmu merana). Mana boleh aku mundur begitu saja dalam adu argumen? Bersikap egois tidak ada ruginya (yah mungkin menyakiti orang lain. Namun, masa bodoh. Sudah saatnya mengutamakan kebahagiaanku setelah melewati satu masa kehidupan menyedihkan).

Sobat, kekuasaan memang menggoda tapi pertimbangkan urusan merepotkan di belakangnya. Siapa yang bisa menjamin akhir bahagiaku? Bahagia selamanya model Cinderella hanya ada dalam dongeng.

Rumus matematika kehidupan: Kerja keras + nalar = Tidak ada akhir bahagia selamanya bersama pangeran tampan kaya raya di negeri impian rasa permen.

Tidak ada.

Oke, bisa saja Caius menikah dan menjadikanku istri utama. Namun, bagaimana bila aku tidak bisa melahirkan pewaris? (Jika diperbolehkan aku akan mengusulkan revisi mengenai keikutsertaan perempuan di ranah politik. Ada baiknya mereka mempertimbangkan posisi perempuan di kerajaan, yang tentu saja selain melahirkan dan mengayomi suami, sebagai salah satu menteri). Pejabat terkait pasti mengusulkan Caius agar mempersunting istri yang lain dengan alasan penerus takhta. Halo? Apa arti diriku bagi kalian selain aksesoris kerajaan? Talentaku akan sekarat seperti tanaman di pulau terkutuk. Bayangkan dunia yang menempatkan kepentingan darah biru. Tidak ada kehendak bebas. Tidak ada pilihan.

Cih 1: Aku tidak rela membagi suamiku dengan wanita mana pun. Titik.

Cih 2. Hei, Caius bahkan tidak memiliki kriteria lelaki idamanku. Catat, ya. Sebagai wanita modern, cerdas, dan berdedikasi maka aku katakan tidak kepada pria yang memiliki kemungkinan memperistri sekian perempuan.

Cih 3. Aku suka uang tapi tidak suka direpotkan urusan politik. Wahai Caius, tolong biarkan aku hidup damai bersama bisnis dan kekayaan milikku sendiri. Tidak usah kaurisaukan Alina versi 0.4 sebab dia memilih berdikari tanpa campur tangan pihak kerajaan.

Jelas?

"Sebenarnya ratu hanya bertanggung jawab pada urusan rumah tangga istana," Caius mengoreksi. Untungnya dia memilih berhenti dan tidak melanjutkan langkah-langkah mematikan mendekatiku. Beruntungnya diriku. "Artinya, kau hanya perlu mencemaskan pengeluaran intern. Lagi pula, kau tidak bekerja sendiri. Ada pendamping yang akan membantumu,"

Haha. Katakan itu kepada jempolku, Caius.

"Manejemen pengeluaranku buruk. Lebih besar pasak daripada tiang," aku berusaha menunjukkan betapa tidak kompeten diriku (yang tentu saja mustahil bila melihat bisnis bonekaku. Semoga Caius tidak mengetahui ketenaran bisnis boneka. Bagaimanapun dia rival terbesal bisnisku. Bahaya bila dia berpikir membuka usaha serupa demi menyaingiku dan membuatku jatuh miskin).

Perlahan aku melangkah menjauhi pohon apel sakral-pohon keramat yang diperuntukkan hanya untukku dan Nox. (Oh, ya. Caius pengecualian. Misi pertama: Hindari bendera kematian dari Caius. Oke?)

"Lagi pula, aku yakin Baginda memiliki kandidat bagus sebagai istrimu, Yang Mulia."

Dengarkan kata "kandidat" yang kuperjelas dalam setiap intonasi. Sungguh terlalu bila dia tidak bisa merasakan keenggananku.

"Alina, kau tidak mengerti." Caius mengikutiku menuju gazebo. Cuaca lumayan sejuk hingga kami dijamin terhindar dari risiko kanker kulit akibat sinar UV. "Kau hanya perlu mengiakan tawaranku. Semudah itu."

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang