24

9.9K 1.2K 841
                                    

Susah payah aku berhasil mengubah Nox menjadi sekutu tepercaya. Usaha melarikan diri dari takdir buruk berujung maut. (Nah, dalam satu kalimat mengandung dua kata laknat yakni, buruk dan maut. Bisa kalian bayangkan betapa tidak mengenakkannya nasib yang ingin kuhindari?) Nox, algojo satu, kemungkinan tengah merahasiakan hal penting. Kawan-kawan, aku tidak suka jadi tokoh-utama-ngenes yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Andai saja Alina diberkati sihir, walau sedikit saja, maka aku akan memilih rute penyelamatan termudah yaitu, pergi ke pulau rahasia dan memanfaatkan kemampuan bercocok tanam. Gampang, 'kan?

Oh sayangnya syalala. Jalan cerita romansa picisan ini sungguh biadab. Tidak tanggung-tanggung kurang ajarnya. Setelah Caius, Jenin, dan si Penyihir Gila, sekarang Nox pun mulai memperlihatkan tanda-tanda membahayakan.

"Nox, tidak inginkah kau berbagi rahasia denganku?"

Terjemahan: Nox, tidak bisakah kau jujur kepadaku?

"Nona, sebaiknya kau segera pulang."

Nona? Padahal kupikir dia sudah menganggap aku sebagai teman dekat. Kenapa panggilan majikan dan bawahan ini kembali diangkat? "Aku tidak bisa tidur nyenyak. Berhari-hari aku memikirkan balasan surat darimu."

Ironis, ya? Malam berbintang di pinggir danau yang memantulkan kilauan cahaya. Seharusnya bisa saja kami bersumpah setia takkan terpisahkan, seperti Romeo dan Juliet, tetapi inilah yang terjadi; anak perempuan rindu akan kehadiran bocah lelaki yang dulu menemaninya. Nox, aku rindu dirimu saat kanak-kanak. Setidaknya Nox versi bocah bisa kurayu dengan sebutir apel, sementara Nox versi dewasa jelas tidak mau dirayu olehku. (Mungkin nanti aku bisa belajar dari Emily cara merayu cowok yang baik dan benar.)

"Kau memikirkanku?" Ujung bibir Nox berkedut, jemarinya merapikan tudung jubahku-atau mungkin tangannya memang tidak bisa diam hingga perlu menyentuhku berkali-kali. (Hei, kenapa laki-laki yang kutemui tidak aman begini?) "Berapa kali dalam sehari aku ada dalam pikiranmu?"

Berapa kali? Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bahkan berbulan-bulan aku memikirkanmu dan para algojo! Mudah bagimu, Nox. Kau tidak berada pada posisi berbahaya. Aku harus berhati-hati bersikap dan berbicara kepada kalian, para algojo, supaya tidak ada pedang menusuk jantungku!

Tentu saja itu tidak kuutarakan.

Oho, memangnya aku tidak waras hingga berani mempertaruhkan segalanya? "Aku sahabat baikmu," kataku menekankan, "tentu saja sangat mencemaskan keadaanmu."

Senyum di bibir Nox sirna. Binar cemerlang yang tadi menghias kedua mata lavendel indah itu pun redup. (Halo, apa aku berbuat salah?)

"Teman?"

Aku mengangguk. "Aku, kan, temanmu. Teman baik. Terbaik. Bukan begitu?" Angin berembus. Hawa dingin membelai wajah, kuusap pipi yang terasa beku di bawah sentuhanku. "Nox ... tolong antar aku ... emm ... pulang."

Salah satu alis Nox terangkat. "Kau tidak ingin menghabiskan malam bersamaku?"

Haha. Tidak! "Aku ada acara," kilahku menampik ajakan. (Ooooo tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin melihat koleksi goremu "yang mungkin ada" beserta penghuni Menara Sihir. Lagi pula, kekasihku yang bernama uang dan deposito tidak suka diduakan. Mereka membutuhkanku sama seperti aku yang memerlukan jaminan kesejahteraan. Iya, tidak usah.) "Usaha bonekaku, maksudku, bisnis. Mengerti, kan, Nox?"

Kali ini Nox mentertawakan kekonyolanku. Oke, tidak apa-apa. Setidaknya dia tidak berencana membunuhku dengan cara mengerikan hingga tidak bisa kudeskripsikan kepada kalian.

"Pulang," katanya.

"Pulang," kataku mengamini.

Kemudian jarak yang tadinya kurasakan ada di antara kami pun menghilang.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang