43: Nox

8.8K 1K 25
                                    

Kematian seperti pencuri; mengendap, diam-diam mengambil barang berharga, sungguh tidak terduga. Meskipun mengenal kematian sebaik teman karib, Nox tetap merasa tidak nyaman bersentuhan dengan jemari maut. Satu per satu kematian merenggut keluarga, sahabat, guru, segalanya. Kini dia harus bertahan hidup seorang diri. Melarikan diri dari cengkeraman Jenin, berusaha melindungi orang terkasih ... satu-satunya manusia yang paling dia sayangi: Alina.

Tidak menyangka Jenin berinisiatif mengurung Alina. Nox jelas tidak bisa menghentikan pembantaian keluarga Joseph. Pada hari itu, pagi kelabu yang tidak mungkin terlupakan, dia bermaksud memastikan keselamatan Alina. Akan tetapi, yang dia dapati ialah mayat penghuni kediaman Joseph. Jantung Nox bertalu, kekhawaatiran melanda. Dia mencari ke sepenjuru bangunan, mencoba menemukan gadis berambut merahnya. Terus mencari, mencari, dan mencari hingga akhirnya dia pun paham bahwa ada tiga orang yang luput dari maut; Alina, Joseph, dan Inocia.

Sihir dalam diri Nox tengah terkuras. Dia tidak mampu mempertahankan diri sebab luka yang diterimanya dari serangan Jenin belum mengering. Jenin dilanda kegilaan. Lelaki itu berani bersekutu dengan Sang Kegelapan; membunuh siapa pun yang jadi perintang, termasuk Menara Sihir. Kekuatan Jenin bukan main buasnya. Tanpa ampun memangsa sihir terhebat sekalipun, termasuk Rugal. Adapun penyebab Nox selamat lantaran Rugal, di saat terakhir, melempar Nox ke sisi lain menggunakan portal. Itulah kebaikan terakhir yang diberikan sang penyihir agung.

Tidak berhenti pada pembantaian penyihir, Jenin mengurung Caius dan menyamar sebagai raja muda. Sebagai Caius, Jenin pun memerintahkan penangkapan sejumlah petinggi kerajaan serta orang-orang kepercayaan Caius, termasuk Joseph dan Inocia. Tanpa ragu memutarbalik fakta, mengganti kebenaran dengan dusta, dan merusak realitas. Rakyat memercayai Caius sebagai tiran. Sandiwara berhasil. Jenin pun mementaskan drama terakhir: Penggantungan pengkhianat dan kematian Caius.

Setelah sukses mementaskan pertunjukan berdarah, Nox yakin Jenin akan mengubah tatanan Arcadion. Pemerintahan bukan perkara menarik bagi Nox. Dia tidak peduli. Namun, lain cerita soal Alina. Sebisa mungkin dia harus menyelamatkan Alina walaupun dengan nyawa di ujung tanduk.

Selama berada dalam persembunyian, Nox mendengar kabar perihal pernikahan Jenin dengan seorang putri dari salah satu bangsawan yang mengakui kedaulatan raja baru. Pesta digelar meriah, semua orang bersukaria menyambut raja dan permaisuri. Sementara Nox menyelinap di antara hadirin, menembus barikade istana tanpa satu orang pun menyadari keberadaannya, dan langsung menuju ruangan yang diincarnya. Informasi berasal dari ingatan yang dicuri Nox melalui sihir. Itulah alasan dia bisa mengetahui posisi Alina.

Nox berhasil melumpuhkan penjaga, berhati-hati melumpuhkan pelindung yang dipasang Jenin agar tidak memicu peringatan. Ketika masuk ke kamar, napas pun tercekat.

"Nox...."

Alina menghambur dalam pelukan Nox. Tangis pecah, seluruh kesedihan mengalir dalam derai air mata. Kebencian, kehilangan, kekecewaan ... segala dukacita membaur dalam setiap debaran jantung.

"Aku menunggumu," Alina terisak, wajahnya terbenam di dada Nox. "Setiap malam dia mendatangiku, aku kira dia akan melempar kepalamu di depanku. Nox, aku tidak ingin berada di sini."

Nox mengusap air mata di wajah Alina. "Maafkan aku."

Alina menggeleng. "Aku ingin menyelamatkan orangtuaku ... tapi Jenin mungkin telah ... oh Nox! Aku tidak sanggup membayangkannya."

"Mari kita pergi."

Tanpa ragu Alina mengiakan ajakan Nox. Jelas kecemasan masih membayang dalam air muka keduanya. Mereka tergesa melewati koridor dan berhenti untuk bersembunyi saat berpapasan dengan pelayan. Sihir dalam diri Nox berdentum, menuntut dilepaskan. Setelah melewati taman, Nox membuka portal dan membawa serta Alina ke tempat teraman yang bisa diusahakannya.

Salju membentang sejauh mata memandang. Begitu elok. Teramat indah. Embun mengristal di ujung tangkai cabang yang tak sempat lelap saat musim gugur. Permukaan danau mengeras seperti cermin, sinar matahari pun memantulkan pendar pelangi.

Negeri impian.

Dongeng milik anak manusia.

"Nox...."

Rasa sakit mendera. Dia berusaha menumpukan kekuatan pada kaki, satu per satu, melangkah meski tertatih. Lengan melingkupi gadis berambut merah yang kini gemetar. Andai bisa membagi kehangatan bersama, pikirnya. Namun, saat darah menetes melalui ujung jemari, jatuh, kemudian mekar seperti poppy di musim dingin; ia merasa waktunya hampir habis.

"Kita tidak boleh berhenti," katanya kepada si gadis. Uap mengepul ketika ia berbicara, melayang, lalu lenyap. "Kau harus kuat."

"Aku tidak mau! Tinggalkan aku."

"Sedikit lagi, Alina," Nox membujuk. "Kita akan bebas."

Tidak boleh menyerah ... tidak setelah berhasil lolos dari cengkeraman si raja lalim. Segala perjuangan akan sia-sia belaka bila mereka menyerah. Meski rasa sakit mendera, Nox menguatkan diri membimbing Alina melewati padang salju. Seluruh sihir miliknya telah terkuras. Kini ia tiada beda dengan sungai kerontang saat kemarau melanda.

Butir salju mulai berjatuhan. Bulu mata Nox telah dihiasi serpihan berwarna putih. Aliran darah kian berdesir seiring degup jantung. Dia tidak boleh memperlihatkan betapa payah dirinya kini. Tidak seorang pun bisa dipercaya, bahkan insting miliknya pun berkhianat.

"Nox, jangan tinggalkan aku."

Kali ini pun ia tahu, kematian tidak lagi terasa menakutkan. "Aku selalu bersamamu," katanya, penuh tekad. "Selamanya."

"Aku lelah ... Nox, sepertinya aku tidak bisa."

"Jangan sekarang," Nox berusaha membujuk. Bila Alina terlelap, maka tidak ada hal yang bisa ia lakukan-segalanya akan percuma. "Kau harus tetap sadar."

Sebab saat kau terlelap, segalanya akan sirna.

Detak sihir terasa samar dalam pembuluh darah. Nox memaksa memanggil sihir dalam dirinya, mengerahkan tenaga dan bertekad mewujudkannya.

Demi kita berdua....

Saat itulah dia bisa merasakan sihir menjawab panggilannya. Angin berembus pelan, udara kian menghangat, dan rasa sakit perlahan meninggalkan tubuh.

"Nox...."

Keduanya, Nox dan Alina, terkesiap menatap sosok perempuan bergaun putih. Kehadiran itu begitu elok, peri-peri mungil menari-nari di sekitar rambut perak yang panjang menjuntai. "Aku menjawab keinginanmu, Anak Rembulan."

Tangan Nox mencengkeram erat jemari Alina, meletakkannya tepat di dada. "Tolong," katanya memohon. "Selamatkan kami."

"Sesuai keinginanmu," jawabnya. "Sesuai kehendakmu, Anak Rembulan."

***
Selesai ditulis pada 30 November 2020.

***

Hai teman-teman. Terima kasih atas dukungan, vote, komentar, penyemangat, dan segenap cinta yang kalian berikan kepada saya. Uhuhuhu. Iyes! Akhirnya hampir selesai. Kurang sedikit lagi. Sedikit lagi. Ahahahhahahha! #Menangisharu. Pokoknya saya ucapkan terima kasih atas segala kebaikan yang teman-teman berikan kepada saya. Huweeeeeee! Sunggguh amat luar biasa. Kalian memang terbaiiiiiik. I love youuuuu all! Muah. Muah. Muah.

Oh ya, tolong mampir ke work saya yang berjudul ROSE OF MAY! Huweeee, di sana kalian akan bertemu dengan Ophelia, tokoh yang sama sablengnya dengan Alina dan saya bisa janjikan narasi kocak dan cerita yang ditujukan demi kepentingan hiburan semata. Tolooooong, saya mohon kalian mampir ke sana, ya? Please. Please. Please. Terima kasih.

Salam hangat,

G.C

P:S:

Tolong jangan lupa jaga kesehatan. Pakai masker saat beraktivitas di luar rumah. Cuci tangan dan jaga pola makan dan tidur secukupnya. Jangan lupa konsumsi sayuran dan berolahraga agar imunitas terjaga.

I love you, teman-teman.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang