6

33K 5K 198
                                    

Nox mengucapkan rayuan gombal itu sungguh mustahil. Maksudku, begini. Halo, aku Alina. Iya, Alina yang seharusnya jahat itu. 

“Nox, apa kau makan jamur beracun? Mungkin kita perlu menemui tabib istana agar dirimu segera diobati.”

Cahaya bulan terlihat berpendar di sekitar Nox. Sisa-sisa kenanganku mengenai Nox versi bocah telah sirna. Cara bicara, menatap, bahkan suaranya pun terdengar begitu melenakan. “Sebenarnya, aku justru mencemaskanmu,” katanya. “Bukankah kau makan banyak sekali?”

Ternyata Nox melihat sisi eleganku: Makan sebanyak mungkin sembari mengabaikan ajakan dansa. “Hei, jangan begitu. Tidak ada yang mengajakku mengobrol.” (Yang tentunya tidak benar.) “Lagi pula, kenapa kau merayuku? Nox, apa kau tidak salah makan?”

“Nona,” katanya sembari menawarkan tangan kanan kepadaku. “Berdansalah denganku.”

“Nox....”

“Malam ini terlalu indah dilewatkan seorang diri.”

Rencanaku memang begitu: Menikmati malam gala seorang diri, berkawan sepi, memuji bintang, kemudian pura-pura bahagia setelah acara selesai.

Aku menghela napas, pasrah. “Semoga kau tidak menyesal.”

Nox tidak menjawab. Ia tersenyum, mengajakku kembali ke dalam.

Kabar baiknya: Kami tidak jadi berdansa. (Mungkin.)

Kabar buruknya: Caius mendominasi lantai dansa. (Kalau ini kupastikan datanya valid dan teruji secara klinis.)

Semua orang menyingkir, menyisakan Caius dan seorang gadis di aula dansa. Gadis cantik bergaun biru. Siapa pun pasti sependapat denganku mengenai ini. Dia benar-benar tidak tergambarkan. Kecantikannya terkesan lembut. Satu-satunya gadis yang ditakdirkan di Crimsom Rose: Yuna. Sepertinya sudah saatnya aku mengajukan surat pengunduran diri dalam alur cerita Crimsom Rose. Era kejayaan Yuna akan bersinar seterang matahari, sementara Alina versi 0.4 memilih menyepi di kota terpencil, menikmati secangkir teh dan berharap tidak perlu bertemu algojo 1 dan 2, yakni Nox dan Caius.

Aku terpana melihat rambut Yuna yang berwarna cokelat karamel. Kesempurnaan Yuna dalam berdansa, bila guruku melihat, pasti akan membuatnya menangis haru. Secara diriku ini tidak bisa diharapkan. Sangat tidak kompeten. Padahal instruksinya mudah. Kanan, serong. Kiri, serong. Putar, serong. Maju, serong. Mundur, serong. Tetapi, kakiku sepertinya memiliki keinginan sendiri. Maju, injak. Mundur, injak. Putar, injak. Kiri dan kanan, injak, injak, injak.

Masa bodoh dengan rezim feodalisme. Aku hidup di era demokrasi yang menjunjung kesetaraan tanpa memandang ras, keyakinan, dan jumlah koin yang dimiliki. Sialnya jiwaku memilih terlahir kembali dalam starta sosial di masa sebelum pencerahan. (Bagaimana kalau aku melamar sebagai pengajar ilmu sosial yang berorientasi ke kerakyatan? Setidaknya bangsawan dungu tukang korup bisa dibasmi dan dengan begitu kehidupan rakyat, khususnya kaum buruh dan pekerja kasar, bisa sedikit lebih baik. Oh, aku ingin mengutarakan revolusi kerakyatan! Huwohohoho!)

Maaf, aku melantur.

Dansa antara Caius dan Yuna. Inilah peristiwa yang membuat Alina memutuskan ingin menyingkirkan Yuna. Takhta, uang, kuasa. Alina mencintai ketenaran sebaik aku menyukai makanan manis. Bedanya, Alina berusaha menghalalkan berbagai cara sementara aku sadar diri—mengerti posisiku sebagai tokoh pinggiran. (Nasihat dari tukang ngibul. Sebenarnya tidak ada buruknya menjadi tokoh sampingan. Anggap saja kita sedang menonton acara drama. Sebagai penonton yang baik dan budiman, jangan lupa siapkan berondong jagung dan sebotol jus. Kujamin, hidupmu masih sama membosankannya.)

Hadirin berbisik-bisik mengenai betapa serasi sejoli tersebut. Mereka bahkan menduga Yuna akan menjadi calon ratu. Sebagai pembaca aku sangat setuju dan menyarankan mereka segera melangsungkan pernikahan. Jangan lupa lahirkan anak-anak lucu di kemudian hari. Sempurna.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang