13

21.3K 3K 71
                                    

Lazimnya mulutku aktif mencetuskan bahan pembicaraan. Namun, malam ini otakku menginstruksikan siaga satu. Alina 0.4 si tukang ngibul memutuskan rehat sejenak dari dunia gunjing-menggunjing. Situasi tidak kondusif. Jenin dan Nox memulai perang tatap-mungkin mereka berdua saling lempar belati lewat pikiran. Adu kekuatan. Tidak berdarah, tetapi cukup membosankan bagi penonton, yakni aku. (Tuan-Tuan, sebenarnya kalian bisa istirahat sejenak; tenangkan pikiran, buang emosi negatif, dan awali perkenalan. "Hei, aku calon istri fiktifmu." ... "Hei, aku calon suami fiktifmu." ... "Wah, kau bukan Yuna." ... "Tuan Penyihir, Anda ganteng sekali." Lalu, aku bisa mundur perlahan, pura-pura tidak melihat ada cinta dan kupastikan: Lenyap.)

Apa gunanya aku ada di sini? Setelah memutuskan mundur dari kancah dunia antagonis, kukira peranku ialah mempersatukan Yuna dengan koleksi harem miliknya. Namun, lain cerita saat praktik lapangan. Yuna atau yang kukenal sebagai Jenin jelas memiliki orientasi normal. Bagaimana aku bisa tahu? Coba tolong kalian lihat caranya mencuri kesempatan di setiap kesempitan, eh maksudku, perhatikan tatapan penuh damba yang dijatuhkannya kepadaku. (Permisi, ya, aku tidak dalam fase gede rasa. Aku sungguh merasakan sensasi kupu-kupu dalam perut ketika dia menatapku. Sekarang pun aku bisa mengendus ketertarikan Jenin terhadapku. Andai ancaman bendera kematian tidak melintang di atas leherku, mungkin akan kupertimbangkan memilih lelaki "yang aman". Sekali lagi kutegaskan, sejauh ini semua pria tampan yang kutemui berlabel "jangan sentuh, bahaya".)

Terlebih, yang paling parah ialah, aku ingin menggigit Jenin. Pasalnya dia terlihat senang memprovokasi Nox. (Teman-teman, ingat misiku? Bertahan hidup, mengumpulkan kekayaan, dan hidup damai. Namun, rencana tinggal rencana. Aku hanya bisa berharap jalannya keadaan yang tidak semakin memburuk.)

Oke, aku akan memulai rapat bertajuk "Ocehan Receh".

Ocehan Receh 1: Wah, apa yang dia bicarakan, sih?

Ocehan Receh 2: Gawat! Aku hampir ngiler.

Ocehan Receh 3: Nox, kenapa kau begitu tampan?

Ocehan Receh 4: Otakku macet.

Ocehan Receh 5: Siapa aku? Aku di mana? Kalian siapa?

Ocehan Receh 6: Energi tidak dapat dihancurkan, tetapi bisa dipindahkan.

Ocehan Receh 7: Haloooo!

Maaf, aku melantur. Mungkin aku bisa meminta Nox agar-

"Alina, lain waktu."

Aku terperangah. Tidak mengerti maksud omongan Jenin. Begitu terkejut hingga ocehan receh mendadak lenyap. Bubar jalan.

"Tidak ada lain waktu," Nox membalas.

Jangan tertipu senyum yang ia tampilkan, begitulah pikirku. Andai tidak membaca awal Crimsom Rose, mungkin dengan gampang aku terbujuk senyum semanis racun andalan Nox. Emosi Nox cenderung tertutup. Tidak ada yang tahu suasana hatinya sebab dalam keadaan buruk pun ia bisa tersenyum. (Usahaku mendekati Nox benar-benar menguras emosi dan harga diri. Ya, terutama harga diri. Mengingat masa kecil bersama Nox, sungguh suatu keajaiban, dia tidak mempertimbangkan pelenyapan Alina 0.4.)

"Alina bebas menemui siapa pun."

Jenin ternyata setara dengan Nox dalam ilmu "senyum beracun". Keduanya tampak bagai jelmaan malaikat; senyum ramah, perkataan sopan, dan basa-basi halus. Mendadak rasa nyeri kembali melanda lenganku. Oh tidak! Aku tidak suka terjebak di antara algojo satu dan algojo empat. Tidak bisakah mereka mengadakan gencatan senjata? Lagi pula, apa sih yang tengah mereka perebutkan? Tidak ada untungnya. Tolong kasihanilah aku terjebak dilema.

"Dia bebas menolak siapa pun," Nox balas melawan. "Terutama orang asing." (Ehem. Hei, hei, hei. Nox, dia sebenarnya calon-jodohmu-yang-ternyata-bukan-jodohmu. Jelas konteks "orang asing" tidak berlaku.)

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang