Inilah kali pertama aku merasa rumah merupakan satu-satunya tempat teraman. Kelegaan membanjiri hati saat kulihat Inocia dan Joseph. Mereka tidak terluka. Hanya aku seorang. Kemungkinan besar kami bertiga sama-sama syok. Entahlah.
Aku tidak berani menanyakan kabar Caius dan ayahnya. Tidak, setelah kulihat guratan letih dan teror yang terlukis di wajah mereka. Lukisan kematian yang pernah kulihat; panah-panah api membakar tubuh, bau daging terpanggang, teriakan perih bercampur ngeri, dan tatapan kosong setelahnya. Aku tidak bisa melupakan kengerian yang telanjur membayang di benak. Lekat seperti malam bernuansa jelaga tanpa taburan bintang. Sungguh berharap datangnya penyelamat, tetapi iblis telah menuang racun ke dalam jiwa-jiwa malang. Itulah yang kini kami alami.
Inocia dan Joseph bisa berpura-pura segalanya baik-baik saja; melanjutkan hidup, memperbincangkan keberuntunganku setiap acara santap malam, dan meyakinkanku mengurus bisnis di Distrik Dagang; rasanya tidak benar. Segalanya. Seakan mayat lelaki yang malam itu kulihat hanya ilusi belaka. Tidak benar.
Walau aku mengetahui kebenarannya, tetap saja aku memilih pura-pura bahagia. Nuraniku tersiksa. Amat sakit.
Lalu, perihal cerita yang melenceng. Sepengetahuanku tidak ada peristiwa pembantaian disebutkan dalam novel. Apabila mengikuti alur cerita, seharusnya Caius saat ini menjalin hubungan dengan Yuna.
Hal itu bisa terjadi karena kematian Alina.
Sontak kuraba tenggorokkanku. Rasa panas seketika melanda seolah akulah yang menelan racun milik Alina.
Embusan angin menerpa wajahku.
Tidak ada racun.
Aku masih hidup.
Kamarku terasa luas dan kosong. Aku tidak tahu hal yang hilang dalam hidupku. Seakan ada yang salah dan harus dibenarkan. Berkali-kali Emily menangkap basah diriku tengah termangu, menatap kosong di satu titik. "Nona, kau perlu istirahat." Emily menyarankan nasihat yang jelas tidak bisa kuikuti. Aku ingin beristirahat, sungguh. Tidur hanya mampu mengobati kelelahan ragawi, bukan jiwa. Terkadang aku bermimpi mengenai kehidupan lamaku. Obat-obat mahal yang harus kutelan, keputusasaan melanda siang malam, dan keinginan menyerah agar segala penderitaan berakhir; agar tidak perlu menjadi beban, agar semua orang di sekitarku menjalani kembali kehidupannya, dan aku bisa merasa lega. Mimpi-mimpi itu membuatku merana sekaligus kesepian. Aku tidak bisa menikmati rutinitas sebagaimana biasanya. Bunyi benda jatuh pun bisa membuatku terlonjak. Paling parah: Aku merasa tidak aman.
Inocia kadang menemaniku berjalan-jalan di taman. Ia tahu ada yang tidak beres denganku. Semua ibu memiliki insting tersebut.
"Apa kau ingin bertemu Paman?"
Paman Nuer. Sudah lama aku tidak menjumpainya. "Apa dia akan meluangkan waktu?" Aku menunduk, menghidu aroma mawar. "Aku kira dia sedang sibuk melakukan sesuatu."
"Dia pasti senang menemuimu." Inocia menggunting sekuntum lili dan meletakkannya ke dalam keranjang yang dibawa Emily. "Dia selalu senang menemuimu."
Jemariku memilin pita-pita mungil di bagian rok gaunku. "Ide bagus."
"Apakah kau ingin membicarakannya?"
Tatapanku terpaku ke tanah. Sama sekali tidak ingin melihat reaksi di mata Inocia. "Tidak," jawabku. Bahkan mengucapkan satu kata itu pun sanggup membuat lidahku kelu. "Aku baik-baik saja."
Aku baik-baik saja.
Klise. Respons yang sering diberikan agar seseorang berhenti mencemaskan kondisimu. Mengucapkan "baik-baik saja" dengan harapan memang seperti itulah keadaan yang kualami: Baik-baik saja. Aku tidak ingin mengutarakan kesedihan kepada siapa pun. Bahkan Inocia dan Joseph sekalipun. Pengalaman di kehidupan terdahluku, orang-orang hanya ingin berbagi kebahagiaan. Saat kau bahagia, maka membaginya merupakan keharusan. Lain cerita dengan kesedihan. Jarang ada orang yang mau mendengar kesedihanmu, bahkan orang yang mengaku sebagai sahabat sekalipun. Seolah kesedihan hanya milikmu seorang, harus disembunyikan, dan tidak boleh dibagi. Lalu, kau akan belajar hidup bersama kesedihanmu. Lama-kelamaan kau pun terbiasa dan tanpa kau sadari ruang dalam hatimu pun penuh sesak oleh bermacam kesedihan. Kemudian keinginan untuk memuntahkan kesedihan pun tiba. Tenggorokkanmu gatal tapi tak satu pun kata keluar. Kesedihan seperti menemukan cara bersembunyi di tubuhmu. Akhirnya kau memilih bertahan sekuat tenaga hingga akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Rose (TAMAT)
FantasyMemori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Hingga akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Begitu terjaga kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tetapi.... "Nona Alina, apakah hari ini An...