23: RUGAL

11.6K 1.5K 42
                                    

Waktu terasa kekal bagi jiwa-jiwa yang merana. Mungkin kesepian berhasil melenyapkan sebagian besar sukacita hingga tersisa getir. Tidaklah mengejutkan bila seseorang tertegun saat menyadari bahwa dirinya tidak sempurna sebagai insan; mungkin ia, si pemurung, berhasil menghitung kancing-kancing kemalangan dan berandai menjahit jubah kebahagiaan agar suatu hari kancing kemalangan miliknya segera memudar-menyerpih bagai debu sihir pengabul impian. Namun, sejatinya impian-hal yang diinginkan tercapai-pun tidak sepenuhnya mustajab. Serupa elegi melankoli; pahit di awal, pedih di akhir. Berkali-kali membuat pengharapan, berkali-kali memendam sepi. Bagai kuncup mawar perindu yang mekar bersama duri kecemburuan; saling menyakiti bahkan setelah bersumpah setia. Sama seperti maut milik si pemurung. Bahkan kematian, bagi si pemurung, terasa lebih baik daripada kehidupan. Oleh karena, kebenaran sejatinya tidaklah welas; kebenaran menggigit seperti serigala, mengoyak tanpa memedulikan rasa sakit, dan menelan apa pun hingga rasa lapar tertuntaskan.

Salju turun, berderai mirip tangis gadis yang patah hati. Segala rona tertutup selimut putih; meniada, lenyap, dan sirna. Asap hitam mengepul lewat cerobong kemudian menyatu dengan langit kelabu. Awan tampak muram seperti raksasa pemurung. Manusia berjalan tertunduk seakan beban tidak kasatmata menempel di punggung ... atau mungkin mereka memang membawa serta beban yang tiap hari terakumulasi tanpa ada tanda-tanda segera berkurang. Kita semua memiliki beban, masing-masing beban pada tiap manusia mengambil wujud berbeda; sekuntum bunga dengan duri beracun yang menembus jantung, monster hitam yang mengisap habis energi kehidupan, dan mungkin mereka-beban hidup-menjelma tangan-tangan pucat yang memeluk erat duka.

Terkadang duka terlihat rupawan hingga orang bisa menyangkanya sebagai cinta.

Benarkah masing-masing di antara kita sanggup mencintai duka sehebat kasih?

Gigil. Hawa dingin terasa menggigit.

Karena kita semua terlahir dengan sepasang sayap tidak kasatmata, maka kita membutuhkan orang lain agar bisa merasakan keberadaannya.

Memori. Ingatan yang ingin dilupakan. Kenangan usang yang kembali menampakkan diri-mengetuk kepalaku, meminta perhatian.

Cahaya rembulan menerobos masuk ke dalam menara melalui jendela. Malam yang kuhabiskan dalam perenungan tanpa arti-tidak ada apa pun yang kudapat selain penyesalan masa muda. Lorong-lorong yang diterangi sinar temaram. Aku, seorang diri, berjalan menyusuri keheningan dalam ruang ingatan; teringat musim dingin ketika diriku masih seorang bocah. Jalanan kota yang ramai, aroma roti bercampur wangi parfum, dan derap langkah kaki manusia yang tergesa mengejar tujuan. Seorang anak, sendirian, duduk di bawah pohon sekarat lantaran ketiadaan warna hijau. Saat itu kupikir aku akan mati; manusia butuh makan dan sayangnya tidak semua orang bisa makan.

Salju tidaklah berwarna putih bersih. Salju yang kulihat warnanya kelabu bercampur cokelat lumpur. Mungkin seperti itulah warna kematian.

"Bocah, maukah kau mengikutiku?"

Dia yang tiba-tiba hadir dalam hidupku; indah, seperti kamelia merah.

"Apa kau tidak ingin ikut denganku?"

Wanita jelita. Rambut merah. Sepasang mata hijau. Dia menunduk, menyejajarkan pandangannya denganku. "Apa kau mau jadi muridku?"

Wanita itu telah lenyap, meninggalkanku.

Hanya ada kenangan dan pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Selepas hari perpisahan, aku selalu mempertanyakan maksud keputusan yang diambilnya. Dia memberiku keabadian sebagai ganti akhir yang diinginkannya. Sungguh kejam takdir yang diwariskan wanita itu kepadaku. Adakalanya kematian terasa memikat daripada kehidupan. Setidaknya penderitaan berakhir begitu maut menciummu, tetapi akhir semacam itu tidak bisa kudapatkan.

Crimson Rose (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang