part 44

6.4K 360 0
                                    

Beberapa hari kemudian, Aulia sudah masuk kesekolah seperti biasa, sikap Ranu juga masih sama seperti biasanya, acuh tak acuh, padahal beberapa hari yang lalu dia meminta Nada meninggalkan Gitar dan menjadikan Ranu sebagai teman terbaiknya, tapi bahkan dengan Aulia, Ranu tak sama sekali mau berbuat hal sama seperti yang dia lakukan pada Nada, meskipun hanya tersenyum,

"Sebentar lagi kalian akan menghadapi ujian kelulusan, jadi persiapkan matang-matang ya, ini bukan ujian seperti di akhir semester biasanya, di akhir semester ini, ujian terakhir kalian yang menentukan lulus dan tidaknya kalian, dan satu penegasan lagi, di ujian ini kalian tidak akan bisa yang namanya menyontek! Mengerti?!" ujar Bu Indah tegas,

Spontan seluruh penjuru kelas menatap Aulia,

Apa? Aulia tak pernah memiliki niat untuk menyontek sama sekali, mereka saja yang salah paham terus,

Sebodoh-bodohnya Aulia, Aulia tau bahwa menyontek itu perbuatan tidak benar, jadi Aulia masih cukup sadar untuk itu, tenang saja.

"Ya sudah silakan istirahat, selamat siang,"

"Siang bu,"

Setelah Bu Indah keluar kelas, Aulia mulai berpikir, bagaimana caranya agar dia bisa belajar dan mengingat semua materi,

Jika Aulia terus-terusan tidak bisa mengingat pelajaran dia dipastikan tidak akan lulus, oh tidak, Aulia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika tidak lulus,

Nama Bunda dan Ayah akan jelek karena Aulia, Ranu? Aulia tak akan bisa bertemu Ranu lagi, malu pastinya, tapi bagaimana lagi, Aulia tak bisa mengingat pelajaran dengan lama,

Aulia menatap ke arah luar kelas sembari memikirkan cara agar dia bisa lulus ujian nantinya, tapi tiba-tiba Kevin melintas, menatap Aulia, Aulia juga menatap Kevin sembari membenahi posisi duduknya,

Biasanya Aulia akan bercerita kepada Kevin tentang masalahnya dan Kevin pasti memberi solusi terbaik untuk Aulia lakukan, tapi..

Kevin berlalu dengan membuang muka, dan menampilkan senyum kecutnya,

Kenapa kamu harus sejahat itu sih, Vin.

• •

"Anak Ayah lagi ngapain sih?"

Aulia menoleh dan mendapati Ayah Aulia berada di ambang pintu kamar Aulia memperhatikan Aulia yang sedang dihadapkan dengan banyak buku pelajaran,

"Ayah gak liat Aulia lagi ngapain?"

"Mau ayah ajarin enggak belajarnya,"

Aulia melirik Ayahnya sekilas, senang rasanya mendengar penuturan Ayah Aulia, akhirnya sesuatu yang Aulia tunggu selama bertahun tahun datang juga, saat dimana Ayahnya akan mengajari Aulia, membantu Aulia tentang Pelajaran dan sekolahnya,

"Kamu mau belajar apa dulu?"

"Matematika, Bahasa Indonesia sama--

"Enggak gitu sayang, belajar itu jangan diborong, step-by-step, belajar itu butuh proses biar bisa dimengerti otak, jadi misal kamu mau belajar Matematika, ya kamu fokus ke Matematika dulu, jangan fokus ke yang lain, ngerti?"

Aulia mengangguk mengerti sembari tersenyum kepada Ayahnya,

Jadi begini rasanya diajari oleh seorang Ayah, Aulia harus melakukan sesuatu agar bisa membanggakan Ayah, apapun itu, Aulia akan lebih giat belajar lagi demi Ayah,

"Contohnya nih ya, Nada belajar Matematika peluang, coba Nada pasti tau kan Rumus Peluang itu banyak, nah kalo misalnya Nada udah baca itu rumus-rumus terus Nada baca juga buku Bahasa Indonesia, emang bisa inget?"

Aulia menggeleng, jelas dibayangkan saja sudah membuat pusing, rumus dan Bahasa Indonesia itukan bertabrakan, benar juga kata Ayah, jika disatukan pasti gak akan karuan jadinya,

"Tapi yah, Aulia gak bisa, misalnya hari ini Aulia belajar Matematika besok di sekolah Aulia disuruh ngerjain soal udah lupa lagi, padahal Aulia udah ngafalin rumusnya contoh-contohnya juga Aulia hafalin,"

Ayah Aulia tersenyum sembari mengusap kepala Anaknya,

"Ayah malah senyum sih, ngejek ya,"

Baru saja Aulia bahagia karena merasakan yang namanya kasih sayang Ayahnya, eh udah dibuat kesal lagi,

"Bukan, coba sini duduk di sini aja, Ayah mau ngasih tau kamu satu rahasia biar kamu bisa kayak Ranu,"

Aulia tersenyum antusias,

Benarkah? Ayah bisa membuat Aulia seperti Ranu? Bisa?

Aulia mengikuti ajakan Ayahnya untuk duduk di tepi kasur Aulia,

"Coba kamu kan pinter main gitar, kata Bunda kamu jago banget gitarnya, iya kan?"

Aulia hanya tersenyum canggung,

Aulia tak mau dibilang sombong dengan mengiyakan pujian Ayahnya, tapi juga tak mau membuat dirinya jatuh dengan mengatakan tidak, jadi lebih baik senyum aja.

"Kamu waktu belajar kunci-kuncinya gimana ngafalinnya?"

Aulia berpikir sejenak, bagaimana Aulia menghafal kunci gitar? Benar juga? Bagaimana Aulia bisa menghafal kunci gitar?

"Aulia gak pernah ngafalin kunci-kuncinya, Aulia gak tau kok tiba-tiba bisa main gitar, Aulia belajar sendiri di kamar setiap hari,"

"Nah itu, kalo kamu belajar sepanjang hari pun kalau kamu belajarnya menghafal, kamu gak akan bisa mengingat materi itu lama, coba kalo kamu mengerti materinya, kamu visualkan dalam bentuk apapun yang kamu suka dalam otak kamu, nanti secara otomatis kamu bisa mengerti oh jadi ini untuk ini, gitu,"

Iya sih, benar juga, selama ini Aulia belajar menghafal tapi sampai sekolah hilang lagi, sedangkan gitar? Aulia sama sekali tak pernah belajar menghafal, tapi dia mengerti,

"Terus katanya Ayah mau ngasih rahasia biar bisa kayak Ranu, mana?" tagih Aulia pada janji Ayahnya tadi, sungguh Aulia ingin sekali bisa memandang Ranu dengan bangga, karena dirinya bisa mendapatkan apa yang juga Ranu dapatkan,

"Kamu gak bisa niru seseorang, kalau kamu mau jadi orang yang cerdas, mulai dari diri kamu sendiri, pelajari diri kamu, kamu gak bisa mempelajari orang lain agar kamu cerdas, gak bisa, kenali diri Nada sendiri, oke."

Ini yang Aulia maksud selama ini, bagaimana ia akan mendapatkan sesuatu yang berharga jika Ayah ada, pelajaran yang sangat berharga yang tak pernah orang lain berikan pada Aulia,

Aulia berhambur memeluk Ayahnya, sangat menyesal telah menyalahkan Ayahnya atas semua yang terjadi selama ini, masalah Aulia hadir untuk melatih kesabaran Aulia bukan berasal dari siapapun apalagi Ayah,

"Kamu juga beruntung memiliki papa seperti papa mu, kamu sangat beruntung pastinya."

Ucapan Tuan Narendra waktu itu, tiba-tiba terputar di benak Aulia, iya Aulia sangat bangga memiliki Ayah seperti Ayah Aulia, sangat bangga, Aulia beruntung,

"Ayah, maafin Aulia ya, Aulia udah nyalahin Ayah, Aulia minta maaf."

Pelukan Aulia direnggangkan oleh Ayahnya,

Ayah Aulia menatap mata Aulia lalu menghapus Air mata yang turun dipipi anak gadisnya itu, lalu tersenyum tulus,

"Ayah gak pernah marah sama Nada, Ayah juga salah, mulai sekarang Ayah minta sama Nada, jangan pernah pedulikan omongan orang, hati Nada hanya untuk bahagia, jangan pernah sedih ya, sayang," Aulia mengangguk lalu ikut tersenyum bersama Ayahnya,

Sangat ringan, beban dipundak Aulia seakan lenyap begitu Aulia tersenyum, dan Aulia harus selalu seperti ini, mengenali diri Aulia sendiri untuk sesuatu yang lebih baik dan yang pasti bersyukur atas apa yang sudah Aulia miliki,  serta selalu bahagia demi orang-orang yang Aulia sayangi,

"Aulia sayang ayah,"

Dua Satu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang