"Untuk mantanku yang tercinta, asekkkkk." Dhifa spontan menutup bukunya, dia terkejut dengan kedatangan Rafki yang tiba-tiba.
"Alay banget gak bisa move on." lanjutnya duduk di sebelah Dhifa.
"Bukan urusan lo, sana ah jangan ganggu gue."
"Aku cuma mau nemenin kesayanganku, Dhifa." ujar Rafki mencolek dagu Dhifa.
Plakkk
Suara nyaring itu berasal dari buku tebal milik Dhifa yang mendarat tepat di kepala Rafki. Dia meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya.
"Barusan jatuh dari motor harus banget di pukul juga? Astaga ini sakit banget." Dhifa terus melihat tingkah Rafki, dia menunjukkan wajah yang tidak biasanya, dia seperti seseorang yang benar-benar kesakitan.
Tidak, Rafki kan bukan manusia normal, dia pasti sedang akting untuk membuat Dhifa merasa bersalah.
"Alay lo."
Rafki tidak menjawab, di terus saja memegangi kepalanya, Dhifa masih tidak yakin dengan yang dia lihat, tapi--
"Lo beneran sakit, Ki?"
Meski menurutnya dia tidak terlalu keras memukul kepala Rafki, tapi kalau manusia jadi-jadian itu sampai terluka parah akibat pukulan yang tidak seberapa itu kan Dhifa jadi benar-benar merasa bersalah.
Terlebih Rafki ini manusia yang cukup menghibur, kalau dia tidak ada siapa yang akan membuat lelucon di bangku penuh keseriusan rumah ini?
"Ki? Lo seriusan gak sih? Sakit banget ya?" tanya Dhifa yang dibalas anggukan oleh Rafki.
Dhifa duduk dan mencoba meraih kepala Rafki yang sedari tadi ia pegang. Dhifa benar-benar khawatir, dia tidak mau kalau Papa Rafki sampai membuat laporan atas rusaknya kepala putra kesanyangannya ini.
"Gue ambilin obat ya? Tapi obatnya apaan?" Rafki kembali menggeleng.
"Ki, jangan geleng-geleng doang dong, gue bingung ih."
"Tanggung jawab lo, ini kan gara-gara lo."
"Iya tapi apa? Gimana? Lo mau ke rumah sakit? Gue anter apa gimana? Gue harus tanggung jawab apaan Rafki!!!??" ucap Dhifa dengan nada tinggi, dia sangat kesal karena Rafki hanya mengatakan hal yang sama, dia sama sekali tidak membantu Dhifa mencari obat untuk kepalanya itu.
"Pegang deh kepala gue."
"Hah?"
"Buruan." Dhifa kembali meraih kepala Rafki seperti yang diperintahkan Sang Empunya.
"Bilang, maaf yaa sayang, gitu, gue pasti langsung sembuh Dhi---Aaaaa!!!!!"
"Kebangetan lo bangke!!!!!" Dhifa menjambak rambut Rafki kuat-kuat, lihat saja Rafki bahkan sampai berteriak sekeras itu.
Entah itu memang benar sakit atau tidak, Dhifa tidak lagi peduli, bisa-bisanya rasa khawatir Dhifa ia permainkan begini, seharusnya Dhifa tetap teguh pada pendiriannya, Rafki memang aneh dan selamanya akan begitu, dia tidak akan menjadi serius, sampai kapan pun tidak akan pernah.
"Ranu!!!! Tolong!!! Dhif--Dhifaa!! Sumpahh adohhh!!! Sakittt woiii!!!!"
"Heuhhhhh!!!!!" Dhifa mendorong kepala Rafki sampai dia harus terjatuh ke samping.
"Sakit sayang."
"Sayang, sayang pala lo peyang!!" ucap Dhifa beranjak dari duduknya.
"Sayang! Aduhhh, aku mau pingsan." Dhifa sama sekali tidak menoleh, mana ada orang pingsan bilang-bilang.
"Aaa" suara Rafki pelan, Dhifa menoleh.
Di sana terlihat Rafki yang tergeletak di lantai, Dhifa tersenyum lalu melipat tangannya di dada, drama apa lagi yang akan Rafki lakukan.
"Sayang ini dingin, aku lagi pingsan, tolong aku." Dhifa tertawa kecil dengan tingkah aneh manusia itu, dia sedang berpura-pura pingsan tapi tidak tahan dengan dinginnya lantai.
"Gue harus apa?" tanya Dhifa dari kejauhan.
"Obatin Aa Rafki." jawab Rafki beranjak dari lantai, dia berdiri dan mendekat ke arah Dhifa.
"Apa obatnya? Dari tadi gue nanya, lo gak pernah serius jawabnya."
"Ya udah, kali ini serius."
"Apa obatnya?"
Rafki menundukkan kepalanya sebentar, tangannya meraih tangan kanan Dhifa, menuntunnya untuk sampai di dada Rafki.
"Cintamu sayang."
Bughhh
Kali ini Rafki memegangi dadanya yang baru saja dipukul oleh Dhifa.
"Orang gila lo emang."
"Menikahlah denganku, Sayang." ucap Rafki dengan nada dramatis dan tentu saja tangannya masih memegangi dadanya.
Pukulan di dada Rafki kali itu sangat sakit, Dhifa yakin itu sangat sakit, Dhifa ingat betapa dia memakai kekuatan penuh untuk memukul dada manusia aneh bernama Rafki itu.
"Kalo lo dapet nilai terbaik satu sekolahan, kita nikah."
"Serius?"
"Ya." Rafki tersenyum lebar, Dhifa tidak berpikir kalau Rafki akan menjadi yang terbaik, Rafki selalu menganggap enteng sekolahnya, dia tidak akan mampu mendapat nilai terbaik, terlebih harus mengalahkan Ranu.
Dhifa rasa itu mustahil.
"Ranu!!! Gue gak jomblo lagi sekaran---" kalimat Rafki tergantung, Dhifa membekap mulut Rafki, Ranu akan tertawa jika mendengar pernyataan Rafki ini, lagi pula Dhifa tidak seserius itu, kenapa Rafki menganggap hal bercanda sebagai hal serius, dan sebaliknya.
Ini tidak lucu.
"Udah gak sabar ya pengin pegang-pegang suamimu ini." Dhifa spontan menjauhkan tangannya dari mulut Rafki.
"Najis. Mulut lo bau lagi, iuhh tangan gue, bau kambing lo!"
"Kalau bau mulut aku bau kamu, nanti orang ngira kita beneran suami istri."
"Ish!! Mesum banget sih, jijik gue."
"I love you too, Sayang."
* * *
Haiii, huhhh, hari ini aku tiba-tiba kangen banget sama Rafki, hehehe, aneh ya? Si Penulis Cerita rindu sama karakternya, hahaha.
Mungkin akan ada beberapa part lagi untuk Rafki dan Dhifa, atau mungkin aku akan buat satu cerita tentang Manusia jadi-jadian itu mengejar perempuan kesukaannya.
Menurut kalian gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Satu [Completed]
Teen FictionAulia, siapa yang tidak tau nama itu? seluruh penjuru sekolah tau, bahkan tukang kebun pun juga pasti tau. Bukan karena Aulia adalah cewek populer, bukan! Tapi lebih tepat Aulia adalah seorang Nerd yang berada di urutan terakhir peringkat kelasnya L...