SANG SENJA

2.8K 131 8
                                    


"Kenapa ngajak keluar, Bel?" tanya Kaila setelah keduanya berada di luar kelas.

"Gue gak mau kebahagiaan lo ternodai sama cewek-cewek gaje itu."

Kaila menatap lekat gadis di hadapannya. Ia benar-benar bersyukur karena Tuhan mengirimkan Bela di hidupnya.

"Lo kenapa bisa sebaik ini sih Bel sama gue?" tanya Kaila.

Bela menautkan alisnya ketika ditanya hal itu oleh Kaila. Tidak ada alasan khusus. Bela sayang kepada Kaila seperti rasa sayang kepada sudara meskipun mereka baru dipertemukan di bangku SMA kelas tiga ini.

"Ya karena lo sahabat gue. Dan kebahagiaan lo adalah kebahagiaan gue juga."

Kaila tertegun mendengar ucapan Bela. Gadis di hadapannya ini benar-benar baik padanya. Kaila memeluk Bela dengan erat membuat Bela hampir terhuyung ke belakang.

"Makasih lo udah baik banget sama gue. Gue berhutang budi banyak sama lo."

Bela tersenyum lalu membalas pelukan sahabatnya tersebut  "Jangan pernah nganggep apa yang gue lakuin itu hutang budi. Gue ngelakuin semuanya tulus buat sahabat gue."

Kaila meregangkan pelukanya agar bisa menatap Bela. Kaila menitihkan air matanya terharu. Begitupun dengan Bela. Mereka saling terdiam untuk sesaat.

"Ihh kok malah nangis-nangis gini sih!" ujar Bela sambil menyeka air matanya.

Kaila melakukan hal yang sama. Kemudian Keduanya saling tertawa.

"Oh iya gimana sama Kak Fathur? Kalian udah serumah?"

Fathur memang sudah ingat segalanya. Tapi Fathur masih tinggal di rumah keluarga Wirawan. Maka dari itu Bela melontarkan pertanyaan tersebut.

Kaila tersenyum simpul sambil tertunduk. "Kak Fathur masih tinggal sama Siska. Kak Fathur bilang kalo dia gak bisa ninggalin Siska dan Bu Mira gitu aja. Dia butuh waktu agar keluarga Wirawan bisa melepas Kak Fathur dengan ikhlas."

Bela merasa sedih mendengar penjelasan Kaila. Ia tahu betul bahwa sahabatnya itu menginginkan sang Kakak kembali seutuhnya kepadanya.

"Yang sabar ya, Kai. Yang terpenting sekarang Kak Fathur kan udah inget sama lo. Dan sebentar lagi pasti akan selalu ada di sisi lo seutuhnya," ucap Bela sambil mengelus tangan Kaila, berusaha menguatkan.

Kaila tersenyum. "Gue gak papa kok, Bel. Kak Fathur inget gue aja itu udah kebahagian terbesar dalam hidup gue."

......

Sepulang sekolah Kaila di jemput oleh Fathur. Lelaki itu mengajak Kaila ke taman untuk sekedar menikmati udara segar. Keduanya duduk di bangku taman yang menghadap ke sebuah danau yang memantulkan cahaya senja.

"Kakak inget gak dulu waktu di Panti, kita sering banget duduk di bangku Panti Asuhan Sambil liat Sunset sama nunggu adzan. Abis itu kita sholat berjamaah," Kaila bercerita.

Fathur menoleh kemudian tersenyum hangat ke arah sang adik. "Kakak inget. Kamu kan yang ngajakin Kakak karena kamu suka banget sama sunset."

Kaila terdiam sejenak, sedetik kemudian gadis itu mengangguk dan tersenyum manis.  Keduanya saling diam menatap sang mentari yang hendak kembali ke peraduannya.

"Gimana sama Bu Mira dan Siska?" tanya Kaila.

"Kakak gak mungkin ninggalin mereka begitu aja. Karena Kakak merasa berhutang budi sama Mamah Mira dan Siska. Ila yang sabar ya, Kakak janji akan kembali sama Ila."

"Ila gak maksa Kakak buat pergi dari mereka kok. Kakak inget sama Ila aja itu udah kebahagiaan terbesar yang Ila rasakan," ucap Kaila penuh pengertian.

"Kakak tau gak gimana hidup Ila selama gak ada Kakak?"

Fathur menoleh ke arah sang adik yang masih setia menatap indahnya senja.

"Rasanya Hampa. Ila bagai terkurung di dalam raga yang jiwanya telah mati."

"Hal itu membuat Ila gak punya teman."

Fathur masih setia mendengarkan cerita Kaila.

"Mereka bahkan mengecap Ila sebagai gadis alien, bahkan antisosial."Kaila tertawa garing ketika mengingat masa itu. Masa dimana tak memiliki teman sama sekali,  masa dimana Bullying adalah hal biasa bagi Kaila.

Kaila menoleh ke samping membuat tatapan kakak beradik itu saling bertemu "Hanya senja lah yang sedari dulu setia menemani Ila menantikan kedatangan Kakak."

Kaila tersenyum hangat ke arah Fathur. Kaila akan menceritakan keluh kesah yang Ia alami selama ini kepada Kakaknya.

"Dari SD, sepulang sekolah Ila akan ke panti buat nunggu Kakak. Ila duduk di kursi tua ditemani oleh Sang senja. Berharap Kak Fathur akan jemput Ila. Tapi hasilnya nihil, Kak Fathur gak kunjung datang karena lupa ingatan. Kak Fathur gak inget sama Ila."

"Tapi sekarang Kakak udah inget sama Ila. Kakak gak mungkin kan ninggalin Ila lagi?" tanya Kaila.

Kaila menitihkan air matanya. Entahlah akhir-akhir ini Kaila begitu cengeng. Atau memang sejak dulu hatinya terlalu lembut.

Fathur menarik Kaila ke dalam pelukannya. "Maafin Kakak atas penantian delapan tahunnya. Kakak janji gak akan pernah ninggalin Ila. Kakak gak akan membuat Ila menunggu," janji Fathur pada Kaila.

Gadis itu begitu nyaman dalam pelukan Sang Kakak. Meluapkan segalanya lewat air mata. Sementara Fathur memeluk Kaila semakin erat sembari menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

......

Saat ini empat anggota Geng Pandawa tengah sibuk menyalin PR Matematika di kelas mereka yang sudah dikerjakan oleh salah satu anggota mereka. Siapa lagi kalau bukan Dhio Dantara.

"Woy Dhio! Ini gimana caranya? Kok bisa ketemu segini?" tanya Raihan kepada Dhio yang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja di bangku barisan paling depan.

"Tumben lo nanya, Han? Biasanya aja langsung lo catet tanpa mau tahu gimana cara ngerjainnya?" tanya Sam heran.

"Ya karena kita kan bentar lagi Ujian Nasional makanya tuh gue mau belajar biar nilai gue  bagus dan  nanti sekampus sama Kaila," tutur Raihan.

"Oh iya juga ya. Gue juga mau belajar ah siapa tahu nanti gue bisa kuliah di luar negeri abis itu ketemu deh sama bule berbikini." Otak mesum Wahyu mulai berjalan.

"Otak lo mesum amat sih, Yu!" hardik Dewa.

"Halah munafik kau malih! Biasanya juga anteng kalo nonton begituan."

"Kagak lah! Jangan samain otak gue sama otak lo. Otak gue tu steril sementara otak lo udah kotor kagak ada bersihnya sama sekali."

"Iyadah yang suci mah! Aku mah apa atuh," Wahyu mendramatisir.

"Lo berdua berantem bae kerjaanya. Ngopi ngapa ngopi," ujar Sam menengahi.

"Yo (dhio) gimana caranya njir nomer 5?" tanya Raihan sekali lagi.

"Tinggal ngeliminasi aja," beritahu Dhio dengan posisi awal.

"Gimana Bambwang! Gue kagak ngerti."

Dhio mengangkat kepalanya dan langsung memberi tatapan membunuh kepada Raihan dan tiga temannya yang membuat mereka kicep.

"Serem amat tuh muka? Kenapa lo?" tanya Raihan yang sudah duduk di samping Dhio sambil merangkul sahabatnya tersebut.

"Halah paling kangen tuh sama bebeb Tamara," terka Wahyu tepat sasaran.

"Siapa suruh cewek baik kaya neng Tamara di putusin. Alesanya 'tamara itu terlalu possessive dan gue ngerasa terkekang aja sama dia'. Ya nyesel kan sekarang," ejek Sam.

Raihan memberi isyarat kepada teman-temanya agar diam. Memojokkan Dhio bukanlah hal yang tepat saat ini. Meskipun Raihan tahu bahwa kegundah gulanaan yang di alami Dhio adalah ulahnya sendiri.

"Kalo lo jodoh sama Tamara. Dia bakal balik lagi ke lo kok. Lagian kalo gue liat kayaknya tuh cewek masih ada rasa sama lo," ucap Raihan berusaha menyemangati.

Dhio melirik ke arah Raihan. Kemudian tersenyum "Thanks, Han."






KailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang