"Kak Sanaaaa, hua. Kangen banget gue sama lo."
Chaeyoung datang dan langsung memeluk Sana. Tidak peduli dengan seragam sekolahnya yang mungkin akan terlihat kusut.
Ya. Chaeyoung sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin, dan hari ini Ia berangkat ke sekolah seperti biasa bersama Dahyun dan Tzuyu.
"Lo kangen ngga sama gue? Kangen dong. Kangen banget pastinya. Iya kan? Gue juga kangen banget sama lo. Tau ngga, tadi tuh disekolah ada ulangan mendadak. Udah tau gue ngga berangkat beberapa hari, eh malah ulangan. Mana bisa gue ngerjain soalnya. Gue kan bukan tipe-tipe orang kaya Kak Mina, yang dipelototin doang soalnya langsung selesai. Ngga pengertian banget emang tuh guru sama gue." Curhat Chaeyoung. Masih mempertahankan pelukannya di tubuh Sana.
"Lo kenapa diem aja, Kak? Lo marah ya sama gue? Maaf deh, gue janji ngga bakal ngulangin lagi, jadi jawab gue dong." Ucap Chaeyoung lagi, suaranya tidak terdengar bersemangat seperti tadi.
"Chae." Panggil Tzuyu pelan.
"Jangan peluk Kak Sana kaya gitu. Kasian. Nanti kalo dia kesakitan gimana?" Tanya Dahyun sambil melepaskan pelukan Chaeyoung dari tubuh Sana.
"Maaf. Gue cuma– cuma–"
"Gue tahu. Kak Sana pasti dengerin lo, kok. Percaya sama gue."
Dahyun membawa Chaeyoung untuk duduk bersamanya di sofa, sedangkan Tzuyu memilih untuk duduk di samping Sana.
"Kak." Panggil Tzuyu. "Semalem, Mami telfon."
Tzuyu memainkan ujung roknya. Sedikit merasa cemas dan gugup.
"Mami bilang, kalo dia mau dateng ke Indonesia besok atau lusa."
"Mami tuh yang mana sih?" Tanya Dahyun. Lupa karena terlalu lama tidak mendengar Tzuyu menyebut kata itu.
"Ish. Mami tuh, nyokapnya Tzuyu. Lo kan tau, Kak Sana manggilnya Mamah kalo ke nyokapnya. Masa kaya gitu aja lupa?" Kesal Chaeyoung.
"Ya maap."
Chaeyoung hanya mendengus, lalu kembali fokus kepada Tzuyu dan Sana.
"Gue harus bilang apa ke Mami nanti soal keadaan lo? Bangun dong. Lo udah tidur lama. Lo ngga kasian apa sama gue? Gimana kalo nanti Mami nanya macem-macem, gue harus jawab apa Kak? Gue harus jawab gimana?" Tanya Tzuyu frustasi. Kepalanya Ia jatuhkan di samping lengan Sana.
Pikiran Tzuyu sekarang penuh dengan segala pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan begitu Mami nya datang ke Indonesia. Entah besok atau nanti, tapi kedatangan Mami nya adalah sesuatu yang jelas.
Sibuk dengan pikirannya Masing-masing, mereka bertiga dikejutkan dengan suara yang tidak beraturan dari alatelektrokardiograf yang terhubung dengan tubuh Sana.
Spontan Dahyun dan Chaeyoung berdiri, menghampiri Sana dengan langkah terburu-buru.
"Kak– kenapa? Ada apa sama suara itu? Kak–"
"Panggil dokter Tzuyu! Sekarang!"
— — — —
"Nayeon! Tunggu!"
Nayeon tidak memperdulikan suara itu. Kakinya terus melangkah menyusuri koridor fakultasnya dengan cepat.
"Tunggu."
Jinyoung meraih lengan Nayeon, lalu membalikkan badan gadis itu agak kasar.
"Apasih? Lepas!" Ucap Nayeon sambil menghempaskan cengkeraman Jinyoung dari lengannya.
"Dengerin gue dulu."
"Apa lagi sih? Apa lagi yang harus gue dengerin dari lo? Kita udah ngga ada hubungan apa-apa lagi. Hubungan kita udah selesai, dan itu gara-gara lo!" Tandas Nayeon keras.
"Ngga! Itu bukan gara-gara gue!" Sela Jinyoung tak kalah keras. "Gue ngga pernah setuju buat putus sama lo. Itu keputusan sepihak, bukan bersama."
"Gue ngga peduli. Nyatanya, udah lama kita putus dan lo baru mau protes sekarang. Bukannya semuanya makin jelas? Lo sama sekali ngga ada niat buat memperbaiki semuanya, malah bikin tambah hancur."
"Lo yang ngga pernah mau dengerin penjelasan gue! Lo yang seenaknya mutusin gue di depan umum. Lo yang udah buat image gue hancur di mata anak-anak fakultas kedokteran. Mereka pikir gue ini cowok brngsk yang suka mainin perasaan cewek."
"Ya emang iya! Lo ngga nyadar, yang lo bilang itu emang dasarnya sifat asli lo! Bukan gue yang buat mereka berpikiran kaya gitu. Enak aja lo nuduh-nuduh gue."
Jinyoung mengeram marah mendengar ucapan Nayeon. Ditariknya tangan Nayeon secara kasar sampai gadis itu meringis kesakitan. Tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka, Jinyoung tetap menyeret Nayeon pergi dari sana.
"Wey, santai bro. Jangan kasar kalo sama cewek."
Seokjin tiba-tiba datang entah dari mana. Melihat Nayeon kesakitan, reflek tangan besar Seokjin melepaskan cengkeraman Jinyoung.
"Siapa lo?" Tanya Jinyoung sewot.
"Santai. Gue Seokjin, lo?"
"Gue pacarnya Nayeon. Kenapa?"
Seokjin melirik kaget kearah Nayeon yang kini sedang memeluk erat lengannya. Ketakutan.
"Dia pacar lo?" Tanya Seokjin kepada Nayeon.
"Bukan. Dia bukan pacar gue. Kita udah putus."
"Dia bilang lo bukan pacarnya tuh. Mantan yang ada. Gagal move on ya lo?" Tanya Seokjin sinis.
"Lo siapa sih? Ngga usah ikut campur deh urusan gue."
"Gue calon suaminya. Kenapa?"
Jinyoung membulatkan kedua matanya, begitupula Nayeon. Calon suami apa? Status bahkan tidak ada. Berlagak menjadi calon suami segala.
"Calon suami?!" Sentak Jinyoung keras.
Belum sempat Seokjin menjawab, dari arah berlawanan Momo terlihat berlari kearah mereka. Wajahnya memerah dan penampilannya sungguh berantakan. Tidak seperti seorang mahasiswa yang baru saja keluar kelas.
"Kak Nayeon!"
"Lo kenapa?"
"Chaeyoung– Sana, dia–"
"Tenang dulu tenang. Ngomong pelan-pelan."
Mendengar nama Sana disebut, membuat Nayeon menjadi ikutan panik seperti Momo.
"Kak– hiks Nayeon."
Suara Chaeyoung terdengar dari handphone Momo. Segera Nayeon merebut handphone itu dan menempelkannya ke telinga.
"Kenapa Chae? Apa apa?"
"Kak Sana– hiks. Dia–"
"Ngomong yang jelas, Chae! Jangan buat gue panik!"
"Udah– ngga ada."
Kepala Nayeon terasa berputar, badannya lemas, dan pandangannya berubah tidak jelas.
"A–apa?"
"Kak Sana, dia– udah meninggal."
Detik itu juga, Nayeon segera menarik Momo pergi ke rumah sakit.
Tidak. Ini pasti bohong.
Sana tidak mungkin pergi. Apalagi untuk selamanya.
— — — —
WHAT–
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Life [Complete]
Fanfiction"Hidup-hidup kita, ngga usah lah pikirin apa kata orang lain."