"Lo tuh, kenapa sih pake berantem segala? Liat sekarang, tangan lo patah. Gimana lo mau nulis? Mau makan? Emangnya lo pikir patah tulang itu enak, hah? Bisa ngga sih, lo dengerin gue sekali aja. Gue khawatir. Gue ngga mau lo kenapa-napa."
Suara Jimin terdengar makin melemah, kepalanya tertunduk, tangannya menolak sentuhan Mina.
"Jim, maaf. Gue ngga bermaksud bikin lo khawatir." Ucap Mina pelan.
"Apa harus berantem? Apa ngga bisa diselesein baik-baik? Lo itu cewe, apa gunanya gue kalo gitu sebagai laki-laki kalo yang berantem aja lo?"
"Jim–"
"Lo bisa telepon gue, chat, atau apapun. Gue–"
"Apa lo bisa jamin ini semua ngga akan terjadi kalo gue tlefon lo? Apa lo bisa jamin semuanya baik-baik aja? Lo bisa jamin tangan gue ngga patah, Chaeyoung ngga pingsan, Kak Jeongyeon ngga kena balok kayu, dan Kak Sana ngga kena tusuk pisau, lo bisa jamin? Hah?!"
Jimin terdiam. Meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Mina. Benar juga. Meskipun dia datang, bukan berarti semuanya bisa dihentikan. Itu semua adalah takdir, dan Jimin hanya terlalu marah kepada dirinya sendiri karena melihat kondisi Mina.
Muka penuh dengan lebam, dan lengan kanan yang di gips serta menggunakan arm sling, membuat Jimin benar-benar merasa tidak berguna sebagai pacar.
"Maaf." Ucap Jimin lirih.
Mina menghela napas panjang, Ia paham dengan perasaan Jimin. Mina juga mungkin akan melakukan hal yang sama, jika hal serupa terjadi pada Jimin.
"Peluk gue." Pinta Mina.
"A–apa? Tapi tangan lo–"
"Pelan-pelan aja, Jim. Gue butuh kekuatan sekarang."
Jimin duduk di pinggir ranjang Mina. Perlahan tapi pasti, Jimin menarik Mina ke pelukannya. Mengelus rambut serta punggung gadisnya lembut. Memberikan sedikit kekuatan untuknya.
"Udah baikan? Maaf, karena udah marah-marah sama lo tadi. Gue cuma khawatir sama lo." Ucap Jimin menyesal.
"Ngga papa. Gue ngerti."
Jimin menatap mata Mina dalam, mengamati setiap luka yang ada diwajahnya dengan serius.
Cup.
"Obat penyembuh khusus dari gue."
Mina tersenyum malu dengan perlakuan Jimin yang secara tiba-tiba mencium singkat luka lebam di dahinya.
"YA AMPUN, MATA SUCI GUE TERNODAI DENGAN KEBUCINAN KALIAN."
Dahyun tiba-tiba masuk kedalam ruangan Mina, diikuti oleh Jihyo yang mendorong kursi roda dengan Chaeyoung yang duduk diatasnya.
"Dahyun! Jangan teriak, rumah sakit. Inget!"
"Iya-iya, maaf. Abisnya, masih sempet ya kalian mesra-mesraan."
"Iri aja sih lo. Masih mending gue mesra-mesraan sama pacar sendiri, lah lo? Mau mesra-mesraan sama siapa? Pacar aja gaada." Ejek Jimin. Dahyun mengeram kesal.
"Chaeng? Syukur deh, lo ngga papa." Ucap Mina lega. Begitu Jihyo mendekatkan Chaeyoung padanya.
Jimin beringsut mundur, membiarkan mereka berbicara.
"Kak, maaf." Ucap Chaeyoung pelan. Kepalanya menunduk takut, tidak berani menatap Mina sedikitpun.
"Kenapa minta maaf, hm?" Tanya Mina sambil mengangkat dagu Chaeyoung agar mau menatapnya.
"Karena udah buat lo kaya gini."
"Ini semua bukan salah lo, Chae."
"Tapi, gara-gara nolongin gue, lo jadi gini. Andai aja lo ngga nyelametin gue, past–"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Life [Complete]
Fanfiction"Hidup-hidup kita, ngga usah lah pikirin apa kata orang lain."