Aura mencekam dari gedung tempat gue berdiri ini seketika hilang. Tergantikan oleh rasa takut sekaligus penasaran sama apa yang akan di perintahkan cewek judes di sebelah gue. Miko menyebutnya ‘pengawas’, masing-masing calon anggota dapat satu. Sejak pembagian pengawas itu, gue udah enggak bisa nerka-nerka dimana yang lainnya, karena kita semua langsung mencar.
Gue memang memutuskan tetap lanjut, apapun yang terjadi. Well, ada beberapa alasan yang sebelumnya gue pertimbangkan. Pertama, gue merasa tertantang sama sikap aneh Heksa. Kedua, pad Della ngecek ke kamar, kondisi gue udah jauh lebih baik. Ketiga, lebam-lebam dan luka-luka ini rasanya cuma sia-sia kalau gue nyerah gitu aja.
Kayaknya udah lebih dari setengah jam gue duduk bareng Si Pengawas. Dieam-dieman natap keadaan jalanan di bawah gedung tiga tingkat ini. Oh, lebih tepatnya bangunan bekas yang nyaris rusak. Lumut di sana-sini, ubin nya hancur, kaca jendela yang pecah. Tapi toh aura cewek di samping gue ini lebih mengerikan dibanding keadaan bangunan yang mirip rumah hantu.
“Sebenernya gue mau di suruh apa sih?” Tanya gue enggak sabaran.
Dia noleh sebentar, terus natap ke depan lagi. Seperti enggak berniat bicara sepatah kata pun. Muka dingin-datarnya mirip sama topeng drama-dramaan della. Bedanya, punya dia kelihatan lebih alami.
“Duh, please dong. Katanya mau ujian? Masa cuma diem doang gini.”
Bukannya sok nantang, gue malas aja ngulur-ngulur waktu. Berani taruhan, ujiannya tetap bakalan nyiksa juga. Enggak peduli nunggu seberapa lama.
“Udah siap emang?” Akhirnya si pengawas itu bersuara juga. Ya ampun, gue kira dia bisu.
“Siap gak siap, tetep harus siap kan?”
Senyum meremehkan terbit di bibirnya yang tipis. Kontan ikin gue deg-degan, meskipun kenyataannya, gue balas dengan wajah sok berani.
Beberapa saat kemudian cuma hening lagi. Gue ngikutin arah pandang dia ke jalan di bawah. Lebih pantas disebut gang kalau menurut gue. Tembok tinggi mengapit di kanan-kirinya.
Dari tadi ada di sini, kurang dari lima orang yang lewat. Lagian siapa juga yang mau lewat sana? Cari mati aja. Gangnya memang sepi dan misterius. Diapit sama tembok-tembok tinggi bangunan.
“Liat cowok itu.” Perintah keluar dari si pengawas.
Ada cowok bertubuh gendut yang melintas. Mungkin umurnya kisaran tiga lima sampai empat puluh tahun. Kelihatan galak dan bikin nelen ludah karena tato ular melingkar di lengannya. Dia tiba-tiba berhenti, nyender ke tiang listrik sambil asyik mainin handphone.
“Ajak dia berantem dan lo harus bertahan selama tiga menit. Pukulan pertama yang lo kasih, itu adalah tanda waktu dimulai. Gue akan kasih kode dengan tepuk tangan dua kali, artinya waktu berakhir. Setelah itu, iris lengannya yang bertato pakai ini-“ dia nunjukkin pisau lipat. “dikit aja, asal ada bekas darahnya di pisau. Gue lihat dari sini.”
Gue nganga. “Enggak salah tuh?”
“Miko ngasih intruksi, ujiannya ngelukain orang secara random. Mau nego?”
“Bisa nego?“ lihat aja, target kan badannya besar gitu. Andai gue mukul sekali dan dia balas, bisa-bisa langsung tumbang. Sebelum berhasil ngiris tangannya, gue lah yang bakal jadi daging kaleng duluan.
“Kalo lo berani. Hadapin miko aja.”
Dan gue rasa miko adalah pilihan yang lebih buruk lagi.
“Turun sekarang dan pukul orang itu. Kalau enggak, lo akan kehilangan kesempatan ujian. Gue enggak main-main laporin kegagalan lo ke miko.”
Susah payah gue nelen ludah. Bingung setengah mati. Gagal artinya harus meninggalkan Gandewa. Meninggalkan Heksa juga. Gue enggak mau. Tapi maju juga sama kayak bunuh diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...