16 | KECEPLOSAN

1.1K 86 3
                                    

Hari ini Miko menugaskan seluruh cewek untuk menjelajahi markas. Katanya, agar hafal tempat sendiri kalau suatu saat ada serangan. Menyusuri setiap lorongnya, gue perlu mengingat. Ternyata bangunan ini punya banyak bagian, berikut dengan rahasia dan fungsinya masing-masing. Gue jadi tau di lantai aula ada pintu bawah tanah menuju ke gudang senjata, juga lorong yang menghubungkan ke rumah besar Gandewa.

Perekrutan memang sudah enggak dilakukan, tapi gue sadar latihan anggota dibuat makin keras. Heksa jadi jarang kelihatan, mungkin sibuk mengurus markas yang lain. Tapi tiap hari gue mendapatkan kertas yang dimasukkan di kotak nasi. Berisi tiga kata yang selalu sama:

Masih sabar, kan?

Dan gue selalu menyimpan jawabannya di saku jaket:

Masih

Menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk menyelipkan ke genggamannya.

“Besok kumpul di aula lagi bisa? Kita semua perlu latihan tarung.” Suara Della mengingatkan keberadaan gue di tengah-tengah anggota cewek. Kita baru selesai keliling, berdiri melingkar di gudang belakang markas.

Total tiga belas orang, belum termasuk gue dan Della, mengangguk patuh. Mereka telah terbiasa dengan perintah. Meskipun ada empat-lima orang yang umurnya kelihatan jauh lebih tua dari Della, mereka tetap menghargai pemimpin.

“Kalau ada tugas susulan, nanti gue kabarin. Sekarang, kalian bisa bubar.”

Lingkaran yang tadinya rapi langsung berantakan. Mereka tertib berbalik, kemudian berjalan menjauh. Menyisakan gue dan Della yang masih berdiri bersebelahan.

Gue noleh sekilas. “Gue ke kamar duluan, ya.”

“Tunggu.” tahan Della.

Nada suara Della yang beda, bikin gue tertegun. Gue berbalik, melihat ekspresinya yang mendadak gelisah. “Kenapa, Del?”

“Gue- perlu nanya sesuatu sama lo.” Bahkan dia seperti ragu mengatakan hal itu.

Memutus kecanggungan, gue ketawa garing. “Ya ampun, Del, biasanya juga langsung nanya. Kenapa, sih? Kayak yang penting banget.”

Della diam. Tapi matanya mengawasi gue dengan lekat. Lantas dia membuang muka, mulai berjalan. “Kita sambil kelliling aja.”

Gue menyejajari langkahnya. Ikut berbelok kembali ke sayap kanan markas, arah timur laut gudang. Sembari diam-diam mengamati Della yang masih saja kelihatan gelisah. Beberapa saat saling diam, gue akhirnya muak dan enggak bisa nahan diri. “Mau nanya apa sih, Del?”

Sontak Della berhenti. Dia natap gue ragu. “Ini mungkin cukup pribadi, tapi gue harap lo jujur.”

Membuang keresahan yang mendadak muncul, gue menghela napas panjang. “Jadi, apa?”

Manik mata Della menusuk tatapan gue. “Lo- sama Heksa ada hubungan apa?”

Gue nahan napas kaget. Pertanyaan yang muncul itu bener-bener di luar dugaan. Masih terkunci pandangan Della, gue berusaha enggak menghindar. “G-gue sama Heksa? Gak ada lah. Gak ada hubungan apa-apa.”

“Reaksi lo barusan, ngasih keterangan kalau ada apa-apa. Gue minta lo jujur.” Della bersedekap.

“Kenapa lo nanya gitu, sih? Gue kan cuma anggota, Heksa udah jelas putra Gandewa.” Aura intimidasi yang muncul perlahan bikin gue enggak nyaman.

Della kembali berjalan, berbelok ke lorong sempit yang terhubung ke ruang ujian anggota. “Nyx, jangan naif. Udah bukan rahasia lagi. Hampir semua anggota tau kedekatan lo sama Heksa.”

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang