7 | UJIAN KETIGA (?)

1.6K 122 4
                                    

“Lo beruntung. Selama ini enggak boleh ada penyelamatan apapun dari anggota Gandewa.”

“Terus, kenapa tadi gue diselamatin?”

“Itu ya... karena Heksa aja. Padahal enggak boleh.”

Gue noleh, masih terus berjalan beriringan dengan Si Pengawas. “Jadi gue gagal?

“Harusnya. Tapi Heksa ngasih perintah untuk bilang lolos ke Miko.”

“Emang Heksa berpengaruh banget di sini?”

Dia ngangguk. “Sangat.”

“Kenapa?”

Kita udah kembali ke markas. Kali ini area dari gerbang ke bangunan sayap kanan (tempat asrama cewek) tampak cukup lengang. Cuma ada dua-tiga orang yang berjaga. Mungkin sisanya masih nyebar buat ngawasin ujian. Termasuk Heksa yang langsung menghilang sehabis nolongin gue tadi, tanpa ngasih sepatah kata pun.

“Nanti juga lo tau.”

“Kenapa sih emangnya? Della juga bilang Heksa beda dari Miko cs. Jadi apa bedanya?”

Dia natap gue jengah. “Lewatin dulu ujian ini. Baru lo akan tau.”

“Ada berapa ujian lagi?”

“Jangan banyak tanya. Pokoknya kumpul di aula jam sembilan malem nanti.”

Setelah ngasih intruksi itu, Si Pengawas belok entah kemana dan menghilang ditelan keremangan lorong. Langit mulai gelap.

🏹🏹🏹

Gue bengong di kamar. Selesai mandi dan pakai T-shirt hitam polos yang sengaja di kasih untuk semua calon anggota. Jatah makan malam udah gue ambil, tapi cuma bisa makan satu suap. Gue nyerah sama rasa perih di bibir yang luka akibat gigitan cowok tatoan sialan tadi.

Bayangan perkelahiran masih nempel jelas di pikiran gue. Merinding kalau ingat kilatan marah di wajah cowok itu. Ngeri juga waktu sadar pisau lipat nyaris nusuk perut gue andai Heksa enggak datang. Seperti kata Si Pengawas tadi, gue beruntung. Kalau gitu, artinya Heksa masih peduli sama gue? Sampai bela-belain nolong padahal jelas enggak boleh ada penyelamatan apapun. Duh, kan gue makin penasaran, sepenting apa posisi Heksa di sini.

Tok... tok... tok...

Sontak gue meloncat berdiri. Pelan-pelan gue putar gagang pintu dan bisa napas lega. Ternyata yang datang adalah Si Mbak yang biasa dorong troli makanan.

“Ada titipan,” katanya.

Jelas gue bingung.”Titipan dari?”

“Ambil aja.” Dia menyodorkan semangkuk bubur dan kotak P3K kecil.

“Dari siapa, Mbak?” tanya gue, mencoba lebih halus lagi. Tapi dia tetap diam. Karena yakin enggak akan ada respons apapun, gue nerima dua benda itu. Si Mbak kelihatan lega dan buru-buru pergi.

Kembali ke kamar, gue masih diliputi pertanyaan seputar siapa yang ngasih? Della? Oh, ya bisa jadi. Mungkin dia habis nerima kabar tentang ujian gue dan mengirimkan semua ini. Baik banget lo, Del.

Gue sadar butuh asupan. Buburnya masih panas dan cukup enak buat mengimbangi bibir yang perih. Daripada enggak makan, gue sendiri yang repot. Setidaknya kalau tinggal nelen doang cuma butuh sedikit usaha aja. Dalam secepat kilat, bubur itu udah habis.

Beralih ke kotak P3K, gue menemukan perban, plester, kain kasa, povidone-iodine, dan cairan entah apa. Yang gue gunakan akhirnya cuma kain kasa buat ngolesin povidone-iodine ke pelipis, siku dan lutut yang ternyata lecet. Gue memilih enggak pakai perban karena bakal mengundang perhatian. Karena gue yakin calon anggota lain pun melewatkan perawatan luka mereka.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang